Selasa, 31 Maret 2009

Satu Dunia Untuk Mereka

Angin malam berhembus malas. Kerlip bintang yang menggantung diantara pekatnya warna hitam, cahayanya sangat lemah. Ke-eksotisan sang bulan pun tidak bisa dinikmati berlama-lama. Orkestra binatang malam kini tak terdengar lagi. Seolah teater tempat biasa mereka berdendang hilang ditelan bumi. Kini udara malam sungguh terasa berbeda. Dinginnya, perlahan semakin hilang hanya kelembapan yang menyisakan pengap. Kesan malam yang sunyi, kelam atau bahkan suram sudah tidak ada lagi. Semua terganti, atau lebih tepatnya tersingkirkan secara paksa oleh laju pembangunan yang menjadi ladang subur tumbuhnya gedung-gedung tinggi. Juga kendaraan bermotor yang hanya membuat jalan-jalan di kota ini macet dan penuh polusi. Bising, hanya itu yang tersisa dari pekatnya malam. Ya… kota ini perlahan berganti rupa menjadi sesuatu yang menurut ku abstrak. Tidak jelas. Sesuatu yang hanya menghasilkan benturan sosial. Sesuatu yang dapat membuat orang lupa terhadap diri dan sesamanya, bahkan sampai melupakan bahwa mereka telah kehilangan hal terpenting dalam diri mereka. Malam merangkak semakin tua. Jalanan belum juga kering dari sisa hujan hari ini. Halte bus dan trotoar belumlah sepi. Orang-orang memadati pinggiran jalan di pusat bisnis. Pun, kendaraan bermotor masih berdiri mengantri di atas aspal hitam. Bunyi klakson nya memekikkan telinga. Semua ingin lebih dulu. Semua ingin haknya didahulukan tanpa pernah melihat bahwa ada yang melebihi dari hak pribadi mereka. Perubahan ini memang benar-benar mengikis semuanya. Perburuan akan harta dan mimpi-mimpi yang dijanjikan masa baru ini merasuki, bahkan hal itu mengalir disetiap darah semua orang. Semua ingin kaya, semua ingin berkuasa, semua ingin yang terbaik bagi dirinya. Namun, menurutku bukan berarti harus mengesampingkan kepedulian kita terhadap sesama. pun, bukan berarti memikirkan diri sendiri. Cih, hakikat kita sebagai manusia perlahan terkikis. Dimana hati? Dimana engkau bersembunyi? Teriak ku melirih, melihat pentas drama manusia yang kian hari, tingkah serta pola pikirnya semakin aneh. Pemujaan terhadap merk, pemuasan akan hasrat yang berlebihan, pengejaran status melalui kebendaan, konsumsi junk food yang menjadi tren dikalangan anak muda dan berbagai tingkah kebodohan lainnya, membuat diri ini muak dan ingin muntah. Inikah abad modernisasi? Inikah kemajuan? Sekali lagi aku hanya bisa bertanya pada diri sendiri. Lalu, bagaimana dengan kalian? Apakah merasakan hal yang sama dengan ku ketika melihat ini semua? Jika tidak cobalah sesekali pergi melihat-lihat kota ini, yang penuh dengan mal-mal megah dengan isi nya? Kemudian sejenak pikirkan apakah ini sangat kita butuhkan? atau pernahkah terpikirkan oleh kalian seberapa besarkah manfaat yang diberikan oleh teknologi bernama hand phone dengan berbagai jenis ukuran pixel warna yang tinggi serta fitur-fiturnya yang semakin canggih, hingga harus menggantinya tiap kali keluar model baru dari produk tersebut? Di sini lah di atas tanah ini, kuku-kuku industri yang selalu mencari keuntungan dengan merubah pola pikir dan budaya hidup umat manusia hadir bagai banjir bah yang tak bisa di hindari. Mereka ada di sekililing kita di segala aspek. Ekonomi, budaya, politik, sosial bahkan agama perlahan namun pasti menjadi komoditas untuk mendatangkan keuntungan. Lihat beberapa waktu lalu dimana shalawat di jual lewat telepon genggam, bahkan ayat-ayat kitab suci di perdagangkan kala mendekati hari-hari besar keagamaan. Iklan dimana-mana, dan tanpa pernah di sadari kita hidup dan besar dalam sebuah slogan dan merk-merk hasil rekayasa manusia. Kemajuan dunia informasi dan telekomunikasi perlahan menggerus budaya silaturrahmi, budaya saling mengunjungi, saling menjenguk terganti kan oleh deretan-deretan kalimat di layar kaca di depan anda sekarang. Entah tampaknya semakin banyak orang yang suka dengan ucapan-ucapan melalui surat elektronik, pesan singkat, berbincang di yahoo, face book dan lain-lain sehingga membuat orang menjadi antusias bersosialisasi di dunia maya yang kian hari semakin terpisah dari realitas sesungguhnya. Pun, menjadikannya seolah menjadi dunia yang benar-benar nyata. Langit pun semakin menghitam. Bintang-bintang enggan bersinar terang. Saya pun semakin terjebak dalam dunia ini, larut sekaligus turut menghanyutkan diri ke dalam samudera luas haru biru kehidupan yang kini terlihat tanpa batasan. Kita berdiri, dan beraktivitas di dalam satu bingkai besar para pemilik modal yang menempatkan kita sebagai mesin-mesin pembuat keuntungan mereka yang tak perduli atas apa pun, kecuali untung.

Selengkapnya...

Rabu, 25 Maret 2009

Huru-hara hati dan kepala

Jalan-jalan begitu sepi. Angin sejuk bertiup perlahan membelai setiap benda yang terhampar di tanah ini. sesekali deru mesin kendaraan bermotor menjerit kencang lalu perlahan menghilang di kejauhan. Satu persatu bentuk kehidupan di mulai. Pedagang baru saja menggelar dagangannya, para perempuan yang bersuami mulai bersolek dan membawa tas jinjing plastik berbagai rupa dan warna nya. Gelak tawa ceria anak-anak sesapu menghiasi sela-sela udara. Kegembiraan, itu yang mereka rasakan meski tanpa mainan yang lahir dari rahim modernitas dan dapat membuat anak-anak lupa untuk bermain dengan teman-teman sebayanya serta menikmati betapa indahnya masa kecil. Hari indah baru saja di mulai, ia menggeliat bebas ke segala arah meyapa semua mahkluk hidup tanpa memandang status kaya atau miskin, buruk atau bagus, lelaki atau perempuan, dan sebagainya. Ia akan terus ada memberi semangat bagi mereka yang selalu mencintai segala bentuk kehidupan, selama semua manusia sadar indah dunia akan terwujud, bila di kepala tetap terpatri bahwa kita adalah sama : mahluk ringkih yang bernama manusia. ...gesekan daun kelapa, kicau burung, hembusan angin, buih putih, sinar matahari. Sunyi, sepi…sendiri… Tenang dan damai atmosfer itu yang kini menyelubungi pesisir yang selalu ramai dengan riuh redam ombak dengan segala erotisme nya. Andai dunia dapat merasakan hal seperti ini, andai dunia jauh dari keserakahan, tak mengenal kemiskinan, jauh dari kesengsaraan yang muncul karena kita selalu haus untuk memiliki akan sesuatu, mungkin dunia akan seperti sekarang ini, di sini jauh dari itu semua. Namun entah apa yang akan terjadi bila kebejadan dunia datang memeluk tempat ini yang mengatasnamakan pembangunan, serta kesejahteraaan rakyat, namun hanya ingin mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari keindahan disini tanpa pernah memperhatikan dampaknya. Pagi masih begitu muda gelak tawa terus menyambangi telinga. Badan serasa begitu letih, kepala bagai di tindih batu karang yang besar, berat, sungguh menyakitkan. Tatapan mata sayu memandang ke hamparan pasir yang berikan sedikit rasa hangat di sela-sela jemari kaki. Angan terus melayang tak beraturan, huru-hara di kepala sisa semalam belum juga hilang. Ya, malam tadi bersama bulan dan bintang kita bertemu, saling merangkul, memeluk, sungguh mesra. Kita berbincang tentang banyak hal. Kehidupan, kegembiraan, kebobrokan negara, perempuan, cinta dan banyak lagi. Kita tertawa, bersulang, berteriak, berlari, berkejaran dengan air. Ya, semalam terbang melayang menyentuh bintang berkencan dengan bulan, sungguh terlihat sempurna. Ah…andai dapat ku bagi rasa ini kawan. Rasa yang membuat ku selalu merasa hidup, rasa yang mungkin dapat membuat keramaian menjadi tak berguna dan akhirnya musnah. Benda ini, alcohol murahan membawa ku berjalan susuri labirin yang baru saja ku buat dengan pasir. Aku tersesat tak tahu jalan pulang. Wajah-wajah itu pun datang silih berganti beri senyuman, satu persatu masa lalu muncul bagai banjir bah menerjang tubuh, masuk ke mata menembus barikade di kepala, ia mendobrak menyelusup ke saluran darah hingga memaksa jantung ini memompa lebih kencang lagi agar setiap bagian yang ada di tubuh ini merasakannya. Lalu…banjir bah itu perlahan mereda, arusnya semakin melemah ia menyisakan lumpur kerinduan yang lengket dan mengendap jauh di hati. Sepi… Sunyi… Dingin… Bergerak dengan lembut, perlahan namun pasti mata mulai tertutup otak berhenti bekerja, dan hati pun bertanya apa kabar Bekasi, masihkah kalian tetap seperti waktu dahulu bergembira dengan kegilaannya? Apa kabar Melati, masihkah penuh dengan berbagai gelak canda tawa dan obrolan yang membuat ku berfikir? Hey Bintaro apakah kau masih sibuk dengan berbagai benda-benda terbaru? Hmmm…Pondok kopi ku dengar ada mahluk polos dan lugu di sana sekarang. Baik-baik sajakah kalian? Sukapura!, tetapkah dengan panasnya, lalu lalang angkot serta hilir mudik buruh yang selalu ramai kala pagi dan sore hari? Lalu bagaimana dengan cimandiri masihkah kalian dengan euphoria aktivisme? Hey-ho! Kalian mahkluk-mahkluk merah yang tersebar di pelosok Jakarta dan Bandung, masihkah tetap bersemangat dan penuh keyakinan untuk membuat dunia yang lebih baik lagi? Dan kamu, ya kamu yang mungkin membaca ini apa kabar nya?, ingin rasanya berbincang kembali… Mungkin aku lalai, mungkin lupa atas rutinitas yang penuh dengan retorika dan hanya berjalan ditempat. Namun pagi ini bersama pasir ku cumbui ombak berharap semua terhanyut terbawa arus ke laut lepas dan sadar bahwa semua pasti mengalami hal semacam ini. Apa yang terjadi mungkin menurut kalian adalah hal remeh, tapi ini membuat kita tetap bersemangat untuk terus bertarung di belantara kehidupan yang sering hadirkan luka. Selalu mengingatkan bahwa di lain tempat ada orang-orang yang mengendap jauh di dasar hati. Aku hanya ingin merindukan… Selamat pagi semua! Matahari tersenyum dengan manis. Ayo bangun!!!.
Selengkapnya...

Senin, 23 Maret 2009

Gegap gempita pesta poria rakyat : Hati-hati saat memilih!

Pemilihan umum (pemilu) adalah pesta rakyat yang selama ini selalu di tunggu dan dibanggakan oleh para penyelenggara negeri ini. Demokrasi! Itu kata mereka yang mengambil keuntungan dari kalimat tersebut. Dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Benar bahwasanya pemerintah berasal dari itu semua dan artinya penggerak negeri ini pun sudah seharusnya mengabdikan dirinya tanpa mengharapkan sesuatu dari pekerjaannya, tulus. Sudah sepantasnya-lah mereka membela kepentingan dan berpihak kepada masyarakat. Pun, seharusnya mereka menjalankan tanggung jawabnya: menyalurkan semua bentuk aspirasi orang-orang (baca: rakyat) yang telah memilih mereka. Hmmmm…rupanya hal-hal itu adalah bentuk ideal dari sistem di negeri ini, dan sebuah harapan yang mungkin butuh usaha keras untuk mewujudkannya tidak hanya dilakukan oleh segelintir orang tapi juga oleh seluruh warga negara di negeri ini.

Bosan dan muak itu lah yang sekarang terasa di dada. Bagaimana tidak, mendekati pemilu begitu banyak orang-orang baru dan lama berbondong-bondong turun ke sawah, desa, laut, perumahan kumuh, membagi-bagikan sembako dan berbagai hal lainnya. Semua itu dilakukan hanya untuk mencari dan mendapatkan simpati, cinta dan image baik di mata rakyat agar nanti menjadi juara pada pemilihan tahun ini. Parahnya yang dilakukan oleh para pencari pekerjaan tersebut (baca: para caleg, capres, dan parpol) dalam mempromosikan visi-misinya sekarang menaruh iklannya di media massa. Lihat televisi dan koran betapa senangnya mereka menjejali kepala kita dengan janji-janji yang belum tentu terwujud setelah mereka menduduki tampuk kekuasaan.

Cih, betapa mirisnya kondisi di tanah ini, rakyat selalu di bodohi dan di bohongi. Pembodohan massal itu yang terjadi sekarang. Rakyat selalu di buat berharap dan percaya dengan janji-janji manis lewat iklan yang selalu hadir dimanapun kita berada tanpa ampun, hingga lupa untuk bertanya-tanya latar belakang dari para peserta pemilu, dari mana dukungan dana kampanye mereka, bagaimana riwayat hidup serta pekerjaannya sebelumnya. Adakah wacana itu kini semakin berkembang di masyarakat? Tentu saja ada namun, itu hanya berkembang di tingkatan para intelektual, pengamat politisi, atau mungkin komisi pemilihan umum (KPU) tapi di tataran akar rumput adakah itu semua berkembang?. Bahkan saya pernah iseng bertanya kepada tukang becak mengenai hal-hal itu dan si tukang becak hanya menjawab : “Kalo saya mas yang penting dapur bisa terus ngepul. Kalo soal politik-politikan bukan urusan saya, itu udah ada yang ngurusin, kalo nyoblos ya tinggal nyoblos”. Cukup mengejutkan memang mendengar jawaban seperti itu dan mulai berfikir apakah semua masyarakat sebagian besar sekarang ini mempunyai fikiran seperti si tukang becak itu atau mungkin lebih parahnya mereka tidak mau dibilang mempunyai pola fikir seperti si tukang becak tersebut dan hanya berkomentar tanpa pernah mau melakukan tindakan yang sederhana namun cukup nyata: bertukar pikiran dengan mereka yang memang buta mengenai persoalan di negara ini, misalnya.

Kampanye yang dilakukan oleh para peserta pemilu tidak hanya memberikan janji-janji manis kepada rakyat tetapi juga sudah merusak keindahan pandangan mata, lihat saja seluruh sudut daerah dari desa sampai kota, dari laut hingga sawah semua penuh dengan poster, pamflet, dan baliho besar terpasang. Di pinggir-pinggir jalan, jembatan, tembok-tembok rumah bahkan pohon-pohon yang bertebaran di jalan menjadi sasaran untuk mempromosikan visi dan misi mereka. Dan yang membuat semakin ingin muntah ketika berita-berita yang disajikan semua tentang perkembangan pemilu yang menitik beratkan pada kampanye-nya saja sedangkan porsi untuk berita-berita lain mengenai kasus korupsi, kemiskinan, kerusakan lingkungan dan lain sebagainya menjadi berkurang. Pun akhirnya apa yang bisa kita lakukan adalah mengelus dada melihat dagelan yang di suguhkan dengan manis itu. Gegap gempita, pesta poria rakyat Indonesia yang disebut-sebut sebagai bentuk terwujudnya demokrasi itu sebentar lagi, semua orang disarankan agar memilih dan katanya suara kita menentukan nasib bangsa. Benar adanya kita yang menentukan nasib bangsa, namun bagaimana jika suara kita mengarahkan bangsa ini kepada kondisi yang tidak berubah, mengalami stagnansi akut, memapankan status quo, atau bahkan lebih parah suara kita memenangkan orang-orang yang tidak memiliki tanggung jawab kepada tugasnya alias memberikan amanat rakyat kepada mereka yang memandang posisi di gedung wakil rakyat sebagai lahan pekerjaan. Jadi, suara kita menentukan nasib bangsa?
Selengkapnya...

Rabu, 11 Maret 2009

Bukan Waktunya Bercinta

Hmmmm...ada apa ini? Pertanyaan itu yang spontan keluar saat melihat sebuah iklan di media masa. Iklan atau tayangan advertising itu membuat diri ini semakin muak dan ingin muntah. Lihat, berapa banyak tayangan yang disuguhkan secara lezat dan penuh fantasi oleh media massa khususnya televisi, tanpa pernah kita sadari telah merasuk ke dalam otak dan perilaku kita. Banyak orang yang berbondong-bondong membeli berbagai produk yang di promosikan di majalah, koran, dan televisi tanpa pernah mereka sadari seberapa penting produk-produk tersebut bagi keperluan pribadinya. Namun yang lebih menyebalkannya adalah semakin banyaknya iklan/promosi dari berbagi partai politik menjelang pemilu di tahun ini. Tidak hanya itu, iklan tersebut selalu ditayangkan secara berulang kali dan ini adalah jurus jitu untuk mencuci otak kita agar selalu ingat dan parahnya akan memilih partai tersebut tanpa mengetahui latar belakang atau track record-nya. Pembodohan! itu benar adanya. Kita sebagai warga negra “yang katanya dicintai” dipaksa untuk memilih parpol, capres, caleg dsb di pesta yang katanya pesta rakyat itu. Umbar janji dalam setia penayangannya tidak memberikan manfaat bagi mayarakat luas. Tayangan debat politik yang menyangkut hal itu pun hanya menambah kebingungan masyarakat. Sadarkah? Kita dibuat dalam satu skenario besar untuk melanggengkan dan memapankan status quo para badut-badut lucu yang berperut besar dan berhidung merah di negara ini. Kekuasaan dan kekayaan itulah yang mereka inginkan.

Mungkin benar kata seorang teman yang kini entah berada dimana dalam sebuah catatan pribadinya, bahwa musuh utama dari itu semua adalah para pemesan, yang punya duwit, punya kuasa, tetapi tidak punya harga diri dan iba. Merekalah musuh yang sesungguhnya. Ironis, selama ini kita selalu menyoroti para parpol, caleg dan hal-hal lain yang berbau pemilu serta pejabat di negeri ini yang selalu saja membuat rakyat susah dan semakin merana tanpa pernah (mungkin) tidak berani membongkar ada apa di balik selimut tebal kehangatan pesto poria (sekali lagi) katanya pestanya rakyat. Ya, kita telah terlelap dalam gegap gempita masa muda yang penuh suka cita, hura-hura, serta masa-masa indah bercinta. Mungkin ini saat yang tepat teman, sahabat, kekasih untuk kita sedikit memberikan waktu sejenak kepada kepala kita untuk melihat kembali ke masa lalu dari masing-masing kita, dan bertanya : apa yang telah kita perbuat sebagai mahluk sosial? Dan mungkin sekarang saya berkata kepada semua teman sebaya sudah saatnya berkata : “Sekarang bukan waktunya bercinta!!!”

Selengkapnya...

Tukeran Link

Senjakala Hati

Award Friendship Diary Osi

Thanks To Diary Osi