Kamis, 16 Agustus 2012

Surat Cinta dari Bali

Kali ini keheningan yang berbicara saat kapal ferry perlahan mulai berlabuh meninggalkan hiruk pikuk Gilimanuk. Dari dek atas lantai dua, pada sisi kanan tepat sebelah ruangan nakhoda bersarang. Sayup angin lembut menyentuh badan kapal bak seorang Ibu mengusap kepala anaknya yang hendak pergi merantau.

Diluar sana, air laut terlihat tenang. Seolah tak terganggu oleh kapal besar yang sedang melintas di permukaan. Burung-burung camar sesekali menyentuhkan paruhnya kedalam air lalu kembali terbang menghias langit.

Ah, ingin rasanya berbagi keindahan sore di selat yang memisahkan antara Jawa dan Bali ini dan aku ingin bercerita tentang apa yang sedang terjadi pada pulau dewata kepadamu. Hey! Tahukah kamu bahwa hari kemarin Bali merayakan Nyepi? Sebuah perayaan bagi umat Hindu guna membersihkan diri dari segala dosa serta sebagai tanda pergantian tahun pada penanggalan Bali: Saka.

Suasana terasa begitu meriah di Pulau itu. Setiap banjar memiliki ogoh-ogoh - sebuah boneka besar terbuat dari rangka bambu serta kertas berbentuk setan dalam berbagai rupa -“ serta upacara keagamaan yang ikut menambah suasana seolah menjadi lebih relijius.

Dahulu, Nyepi yang berarti sepi, dilaksanakan dalam jangka waktu berbeda-beda. Jika sekarang kita mengenalnya hanya dilakukan selama satu hari, maka puluhan tahun silam ibadah tersebut dilakukan selama 3-4 hari. Entahlah, siapa yang kemudian merubah itu menjadi satu hari seperti saat ini, namun yang pasti Nyepi tidak hanya membawa kebaikan bagi masyarakat di Bali atau yang merayakannya saja tetapi juga pada dunia.

Akan ku ceritakan pada mu perihal itu bagi seluruh bangsa-bangsa yang hidup di atas bumi ini. Mungkin hanya sedikit yang dapat ku beritakan dan terbatas pada nilai-nilai dasar Nyepi, karena aku bukanlah orang yang menguasai dengan jelas persoalan ini.

Kamu tahu, Nyepi memiliki empat pondasi utama yang menjadi acuan dalam menjalankannya. Amati Geni, Amati Karya, Amati Lelungan, Amati Lelanguan, adalah pondasi tersebut. Amati Geni berarti tidak menyalakan api (penerangan) atau mengendalikan api amarah dalam diri. Amati Karya tidak melakukan aktifitas (bekerja). Amati Lelungan adalah tidak bepergian keluar rumah. Sedangkan Amati Lelanguan yaitu tidak mengumbar hawa nafsu atau tidak menikmati hiburan.

Melihat keempat dasar itu bisa kau bayangkan, ketika Nyepi berlangsung praktis semua kehidupan "berhenti". Orang-orang tidak boleh melakukan aktifitas kesehariannya selama 24 jam penuh: mulai jam 06.00 pagi hingga jam 06.00 keesokan harinya. Seorang teman pernah bercerita bahwa masyarakat yang menjalani Nyepi akan berdiam diri dalam rumah, bermeditasi, dan lebih mendekatkan diri pada sang pencipta. Hening dan sunyi: sepi.

Oleh karena itu, tidak hanya pada masyarakat saja kehidupan "berhenti" pun, bandara, terminal, pelabuhan, pasar, mal, hotel, serta semua bentuk industri lainnya yang berada di pulau itu juga turut menstop semua kegiatannya.

Kamu pasti heran membaca penjelasan ku yang sangat singkat ini mengenai keterkaitan Nyepi dan nilai-nilai kebaikannya yang menyebar ke seluruh pelosok bumi.

Baiklah, masih ingatkah kau mengenai lapisan es yang mulai mencair, perubahan musim, serta sampai pada meluasnya penyakit-penyakit daerah khas tropis atau tentang permasalahan atmosfer yang penuh dengan gas emisi di atas sana? Aku tahu kamu pasti ingat karena selama ini kau lah mesin pengingat ku untuk hal-hal itu.

Kita berdua tahu bahwa, bumi sebagai media tempat kita bertemu, sedang mengalami ancaman bencana yang bahkan kita sendiri tidak pernah membayangkan sebelumnya. Bencana yang dibuat oleh manusia sendiri lewat penggunaan energi yang berlebihan, merampok kayu serta membabat hutan tropis, kemudian menggantinya dengan perkebunan sawit atau tambang mineral. Selain itu konsumsi bahan bakar fosil besar-besaran, serta berbagai hal lainnya, adalah sumber utama bencana yang hingga sekarang terus berjalan.

Ancaman itulah yang belakangan marak dikenal dengan perubahan iklim: persoalan utama bumi. Berbagai solusi, baik itu berupa kesepakatan internasional hingga solusi sederhana, dibuat kemudian ditawarkan kepada semua Negara-negara di dunia. Lucunya, solusi tersebut yang lebih dikenal khalayak ramai meski asal datangnya entah dari mana.

Untuk Indonesia sendiri, solusi bagi degradasi lingkungan hidup sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Tengok lah hutan serta tanah adat yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang dan kearifan lokal ini ada pada semua suku bangsa di nusantara.

Pun begitu dengan Nyepi yang sudah hadir sejak lama. Ketika Nyepi sedang berlangsung, maka semua aktifitas manusia berhenti total. Lalu, kamu pun bisa menebak dampaknya: berhentinya gas emisi yang terbuang ke angkasa. Sungguh aneh rasanya bila Nyepi sebagai salah satu bentuk kearifan lokal bangsa ini, hanya dilihat dari sekedar persoalan ibadah manusia dengan sang pencipta bukan kepada turut serta berkontribusi mencegah terlepasnya gas rumah kaca.

Memang cukup sulit untuk mengadopsi nilai tersebut, tapi kita bisa melakukan solusi sederhana yang dapat dilakukan dengan mudah berdasarkan cerminan pada apa yang terkandung dalam Nyepi. Mematikan lampu misalnya atau mulai menggunakan transportasi publik, menggiatkan kembali sepeda, atau berbagai hal lainnya yang sangat dekat dengan kita.

Begitulah, sedikit cerita ketika di Bali. Sebenarnya banyak kisah yang ingin ku bagi dari perjalananan ini, namun rangkaian aksara tidak akan cukup untuk menjelaskan semua. Mungkin nanti ketika kita bertemu dalam temaram cahaya bulan dan bintang gemintang, setelah lampu dimatikan akan ku kisahkan kembali semua kepada mu.

Kapal terasa lambat sekali, Pulau Bali semakin jauh tertinggal. Angin masih bertiup lembut. Di luar sana laut tetap tenang hanya riak-riak kecil yang membuatnya sedikit bergejolak. Raja siang mulai siap berpulang. Daratan di depan semakin terlihat jelas. Klakson kapal memecah keheningan. Hiruk pikuk sesapu terdengar. Pulau Jawa hadir di depan. Tunggu aku di Jakarta pada Minggu ke empat bulan maret.

Gilimanuk-Ketapang, 2011
Selengkapnya...

Mangrove Harapan Terakhir Masyarakat Desa Tapak

27 Februari 2011. Bau anyir khas pesisir perlahan mulai tercium, jalan setapak berpasir kehitaman terbentang dihadapan tim road trip Earth Hour 2011. Di sisi kanan dan kiri jalan, terhampar petak-petak tambak ikan bandeng milik masyarakat. Siang itu di Desa Tapak, Tugurejo, Semarang, segenap alamnya seakan mengawasi kedatangan kami yang akan menuju lokasi penanaman mangrove.

Dan tibalah kami dipenghujung jalan. Tiga buah perahu motor dengan panjang 4 meter dan lebar 1,5 meter sudah menunggu sejak tadi. Setiap perahu dapat mengangkut tidak lebih dari 7 orang dengan komposisi 5 orang penumpang, 1 orang kemudi perahu, sisanya bertugas menjadi pemandu.

Perahu pun mulai bergerak perlahan memasuki rindang pohon bakau menuju mulut sungai tapak. Deru mesin bertenaga 6,5 pk itu memecah keheningan kawasan mangrove, sehingga membuat wideng (kepiting) yang sedang asyik termenung lari pontang-panting saat perahu melintas didepannya.

Sepanjang sungai yang airnya hitam dan sarat bau endapan lumpur itu juga dipenuhi sampah plastik. Bahkan perahu kami beberapa kali harus mematikan mesin karena baling-baling tersangkut benda tersebut. Tidak hanya sampah saja yang mencemari sungai ini, warga setempat memberitahukan bahwa limbah cair dari perusahaan yang terletak di belakang desa turut andil mengotori sungai dan sudah terjadi sejak lama.

Tidak kurang 30 menit mulut sungai mulai terlihat. Lautan menyambut, hembusan angin serta gelombang membelai tubuh yang terasa lengket oleh keringat. Dengan hati-hati si pengemudi mengendalikan kapal ukuran kecil itu dari riuh rendah gelombang.

Kawasan mangrove semakin terlihat jelas di pingir-pinggir pesisir menjadi benteng pertahanan terakhir bagi wilayah desa.

Mengapa menanam mangrove?

Wilayah desa Tapak, Tugurejo, sebenarnya sudah sejak lama memiliki banyak pohon mangrove. Tetapi akibat adanya mitos (namun tidak terbukti) bahwa jika tumbang, racun yang tersimpan dalam akar tanaman ini akan terlepas dan membunuh ikan dalam tambak, maka masyarakat setempat membabatnya.

Namun, sejak adanya abrasi laut besar-besaran sekitar tahun 2000-2001 masyarakat mulai menyadari betapa besar manfaat mangrove bagi wilayah pesisir dan mulai menanamnya kembali. Disini terdapat 5 jenis tanaman mangrove yang dibudidayakan yakni jenis rhizophora macronata, rhizophora apiculata, rhizophora stylosa, avicenia marina, serta burguera.

Abrasi yang melanda wilayah pesisir desa Tapak, telah menghilangkan 8 petak tambak ikan bandeng seluas 1-2 hektar. Tidak hanya itu, abrasi juga menggeser garis pantai sejauh 700 meter kearah daratan serta telah menghilangkan pulau Tirang, sebuah pulau kecil yang dahulu juga menjadi tempat mangrove berkembang, dahulu masyarakat setempat menggunakan nama pulau tirang sebagai alamat untuk desa tapak: Jalan pulau Tirang, setelah tenggelam alamat pun berganti menjadi Jalan Tapak Tugurejo.

Selain hilangnya pulau Tirang, abrasi air laut juga turut menenggelamkan lokasi tambak udang yang dapat dilihat secara jelas melalui sisa-sisa pondasi wc yang hancur akibat naiknya muka air laut. Dampak lain dari abrasi menyebabkan menurunnya hasil panen tambak. Jauh sebelum terjadinya bencana tersebut, tambak ikan bandeng dapat menghasilkan 8 ton setiap kali panen, tapi setelah air laut naik tambak hanya menghasilkan 5-6 ton ikan bandeng tiap panennya.

Abrasi yang terjadi di wilayah pesisir desa Tapak, selain semakin naiknya muka air laut (dampak dari perubahan iklim), juga diperparah akibat adanya reklamasi pantai yang dilakukan oleh beberapa perusahaan. Pakar lingkungan hidup dari Universitas Diponegoro Semarang, Prof Dr Sudharto P Hadi, menjelaskan bahwa Lahan reklamasi membuat arah arus laut berubah sehingga akhirnya memicu kerusakan lingkungan di lokasi lainnya (kompas.com).

Abrasi juga melanda 60 persen dari 21,6 kilometer panjang pantai di perairan Kota Semarang, merupakan wilayah Kecamatan Tugu dan 70 persen di antaranya terkena abrasi (www.antarajateng.com).

Guna mencegah abrasi yang semakin besar tidak cukup hanya dengan menanam mangrove sebanyak-banyaknya, masyarakat juga membangun Alat Pemecah Ombak (APO) yang terbuat dari ban-ban mobil bekas yang di tumpuk kemudian diisi dengan semen. Hal ini dilakukan karena semakin besarnya pengikisan tanah oleh air yang dapat dengan cepat menghilangkan daratan.

Abrasi air laut, perubahan iklim, reklamasi serta pencemaran limbah menjadi ancaman utama bagi masyarakat yang menghuni wilayah pesisir Semarang. Setidaknya Mangrove dan APO telah sedikit memberikan harapan bagi masyarakat daerah pesisir Tugu, dimana pengikisan tanah oleh air terus terjadi secara perlahan namun pasti.

Mata-mata termenung menatap kosong laut lepas. Awan kembali mendung bersiap memuntahkan isi perutnya. Ikan-ikan belana berlompatan diantara perahu yang terlihat lelah melawan kencangnya arus laut ketika mengantar kami pulang. Dalam perjalanan kembali ke awal, kepala menunduk termenung, hati mencoba berdamai melihat realita yang entah dibuat oleh siapa hingga masyarakat menerima getah yang sangat lengket ini.

Desa Tapak, Semarang 2011
Selengkapnya...

Secuil pandang di Bandung: Kunjungan ke Cihanjuang

Aspal jalanan belumlah kering dari sisa hujan tadi pagi. Sisi kiri dan kanan jalan dipadati dengan berbagai jenis kendaraan. Dilangit, awan nampaknya masih ingin menumpahkan semua air yang entah sejak kapan dikumpulkannya. Semua itu seakan mengiringi kepergian tim road trip Earth Hour 2011 menuju Bandung, Jawa Barat.

Bis berukuran tiga perempat yang kami naiki, perlahan merangkak memasuki jalan tol dalam kota. Tiada hal menyenangkan untuk dipandang mata, saat bis melaju dijalur yang katanya bebas hambatan itu. Hanya gedung-gedung, mobil pribadi, truk besar dan kecil, bis pariwisata, bis kota…gedung-gedung, mobil pribadi, truk besar dan kecil, bis pariwisata, bis kota…bis lagi, mobil pribadi lagi, gedung lagi…Jakarta pagi hari. Macet!

Pemandangan mulai terlihat berbeda saat memasuki tol cikampek, tepatnya di wilayah kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Dahulu disebelah kiri dan kanan jalan tol ini masih terlihat banyak sawah-sawah tadah hujan, bahkan diantara areal persawahan itu berdiri tegak bangunan-bangunan dengan atap yang sengaja dibuat rendah, hingga jika memasukinya tidak dari pintu masuk, kita harus menundukkan kepala. Bangunan yang kemudian dikenal sebagai pabrik batu bata merah tradisional, menjadi salah satu penyegar mata kala melaju di tol cikampek.

Terbersit dalam ingatan saat kepulan asap hitam berlomba-lomba keluar dari cerobong kecil pabrik tersebut. Terbang bebas bak sebuah tinta hitam yang mewarnai putihnya langit. Pemandangan itu yang kemudian menjadi hiburan bagi para pelintas jalan tol Cikampek. Tidak jarang, pabrik-pabrik bata itu menjadi hal yang sangat menarik bagi anak-anak kecil dan kemudian menanyakan kepada orang tuanya, mengapa ada rumah dengan genteng yang sangat pendek?

Namun, kini pemandangan sawah serta pabrik bata merah tradisional sudah tidak bisa dilihat, tiada lagi asap yang mengepul atau hamparan sawah luas. Sekarang hanya ada deret-deretan pabrik modern dengan cerobong-cerobong asap besar, yang selalu mengepul setiap harinya. Sesekali sepanjang jalan ini masih terlihat sawah-sawah tetapi luasnya sangat terbatas. Pun, ada sawah yang berdampingan dengan sebuah pabrik. Lucunya ada sawah yang diberi tanda bahwa tanah luas itu milik suatu perusahaan besar tertentu. Hati sedikit menerka-nerka, jangan-jangan sawah-sawah itu suatu saat akan berganti pabrik atau komplek bangunan mewah. Entahlah…dan jika semua sawah-sawah sudah berganti fungsi, apa nantinya pekerjaan para petani-petani itu, masih adakah stok beras untuk semua orang?

Dan kota kembang pun menyapa. Bis melaju dengan santai membelah jalan di tengah ramainya kendaraan bermotor lainnya…

Bandung, sebuah kota yang dahulu pernah menjadi lautan api bagi pasukan Belanda, seolah tersenyum menyambut kedatangan kami, Jum’at 25 Februari 2011. Kota yang dikenal dengan gadis-gadisnya yang berparas ayu, lokasi belanja, macet saat weekend, tempat berlibur, dingin, jalan Dago serta segudang hal lainnya, ternyata memiliki keunggulan lain yakni pabrik produksi teknologi pembangkit listrik tenaga air (PLTA)/mikrohidro.

Pabrik yang berdiri sejak tahun 1996 ini terletak dijalan Cihanjuang, Cimahi Utara, Cimahi, Jawa Barat telah memproduksi 5 tipe mesin mikrohidro dari daya listrik 50 watt hingga berdasarkan kebutuhan. Keunikan dari tempat ini ialah keberhasilannya dalam memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar lewat program pemberdayaan masyarakatnya.

Tempat pembuatan pembangkit listrik tenaga air (PLTMH) Cihanjuang, menunjukkan bahwa penggunaan energi air sebagai sumber listrik dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar. Hasil tersebut diperlihatkan pada film dokumenter yang dibuat oleh pabrik tersebut ketika tim road trip Earth Hour bertandang.

Keberadaan tempat produksi PLTMH ini memperlihatkan adanya hubungan harmonis antara masyarakat dengan pabrik melalui perekrutan pegawai yang berasal dari sekitar wilayah pabrik. Tercatat, saat ini pabrik tersebut mampu menyerap lebih dari 34 orang dan lebih dari 50 orang terlibat produksi yang dikerjakan di rumah masing-masing.

Penggunaan energi alternative yang ramah lingkungan seperti mikrohidro, tidak saja berkontribusi menyelamatkan lingkungan namun juga memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat pada wilayah yang belum terjangkau listrik. Dengan adanya listrik maka, akan mempermudah semua pekerjaan manusia. Bayangkan, jika sebuah desa yang tidak pernah mendapatkan pasokan listrik tapi memiliki potensi sumber daya alam melimpah, apakah tetap bisa mengolah hasil buminya secara efisien dan efektif, tanpa menggunakan listrik?

Memang untuk menerapkan teknologi mikrohidro gampang-gampang susah. Karena, dibutuhkan suatu uji kelayakan yang sangat mendalam jika ingin memanfaatkan energi listrik tenaga air. Mulai dari debit air hingga kepada kondisi sosial masyarakatnya. Hal tersebut dilakukan agar ketika pembangunan lokasi pembangkit, dapat berguna dan tahan lama. Tidak hanya itu, peran serta dari berbagai pihak juga sangat dibutuhkan dalam pengadaan mesin PLTMH bagi wilayah-wilayah yang terbelakang dengan kondisi penghasilan masyarakatnya yang sangat rendah, apalagi jika melihat tingkat perekonomian masyarakat yang tidak merata di Indonesia.

Kunjungan ke Cihanjuang, kembali mengingatkan kita bahwa listrik sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat, lucunya masih banyak dari kita yang boros dalam menggunakan listrik bahkan ada sebagian wilayah di Indonesia masih terjadi byar-pet serta belum teraliri listrik.. Dan hal yang semakin membuat kita ‘terpingkal-pingkal’ menyadari bahwa tanah nusantara ini memiliki sumber daya alam energi yang sangat melimpah ruah namun dinyatakan krisis energi.

Awan mendung pun kembali menggelayut manja di langit sana, semilir angin sejuk setia membelai rambut dan kulit kami. Kehangatan bandrek menemani senda gurau ketika mengakhiri kunjungan pada lokasi percontohan aplikasi PLTMH Cihanjuang yang letaknya tidak terlalu jauh dari pabrik itu. Perlahan, si raja siang mulai surut ke peraduannya, mengiringi langkah kaki-kaki kecil meninggalkan Cihanjuang.

Bandung, 2011
Selengkapnya...

Tukeran Link

Senjakala Hati

Award Friendship Diary Osi

Thanks To Diary Osi