Matahari belum lah beranjak tinggi, semilir sejuk angin segar berhembus membelai kehidupan pagi ini. Riuh redam suara terdengar sesayup mengunjungi telinga. Warman baru saja terbangun setelah semalaman kencani bulan dan bintang yang menggelayut di angkasa. Lingkar matanya sedikit berwarna hitam, mukanya tak bergairah. Pun akhirnya ia membasuh wajahnya untuk mengembalikan kesegaran dan menghilangkan sisa mimpi semalam.
Segelas air putih di reguk-nya, tak lama berselang sebatang rokok di sulutnya. Belum juga ia merasakan kenikmatan pagi dan hangatnya senyum si raja siang, bagai seekor kucing liar, telinganya menangkap suara orang berteriak menggunakan microphone. Dengan berhati-hati warman mulai mendengarkan suara itu dan mata nya pun membelalak! ke-sayu-an yang sejak tadi menggelayut manja di mata Warman hilang seketika terbawa suara dari luar sana.
“…bagi seluruh warga sekitar yang ingin memeriksakan dirinya silahkan datang segera ke lokasi pengobatan gratis di lapangan Rt. 25/07…acara pengobatan gratis ini di selenggarakan oleh pasangan Josef-winarto…pastikan No.99 untuk masa depan negeri ini…”
Kalimat itu didengungkan berulang kali. Warman kontan menghambur keluar rumah. Wajahnya mulai memerah, matanya makin terbelalak melihat orang berseragam hitam yang dipadu dengan warna oranye serta merah. Orang itu sungguh bersemangat memberikan pengumuman dengan kalimat-kalimat yang sama.
Warman mematung memperhatikan drama kebaikan tersebut, pikirannya tak tentu arah melihat pertunjukan yang tak di pungut biaya sepeser pun.
“…Demi Indonesia tercinta…” Gumam Warman dalam hati membaca spanduk yang menjadi hiasan acara tersebut. Pengobatan gratis!? Baru kali ini di daerah rumahnya diadakan kegiatan seperti itu. Seluruh warga perumahan ini termasuk golongan menengah ke atas. Kenapa harus Gratis? Memangnya di sini daerah tertinggal atau daerah terlantar.
Dan kenapa baru saat-saat mendekati pemilihan umum banyak sekali manusia yang ingin berbuat kebajikan demi manusia lainnya, yang diadakan secara meriah bahkan ada yang sampai mengundang media massa!? Warman tetap mematung. Ia lupa rokok yang terselip diantara jemarinya mulai memendek termakan bara. Pikirannya loncat dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Tragedi Lumpur, penggusuran paksa, bencana danau, kasus orang hilang, kemiskinan, tragedi mal nutrisi, tragedi…bencana…kebobrokan negeri…terus melintas cepat di kepala Warman.
Matahari pagi pun semakin terik, perlahan kesejukan sirna keramaian sedikit demi sedikit berganti kesunyian…alunan musik tentang tanah air ini mengalun. Lirih kan hati sesakkan dada. Pengobatan gratis tidak disini tempatnya dan dilaksanakan bukan berdasarkan momentum apapun atau mengharapkan pamrih dari mereka yang datang. Tapi kegiatan itu semestinya berkelanjutan di seluruh pelosok negeri yang membutuhkannya bukan di perkotaan atau perumahan yang tingkat ekonomi masyarakatnya tergolong mampu.
“…disana tempat lahir beta, di buai dibesarkan bunda, tempat berlindung di hari tua…sampai akhir menutup mata…”
Sebuah komposisi yang sangat pas dari pentas drama kebajikan manusia. Semua orang larut pada pertunjukan itu. Mereka lupa, lupa bahwa seharusnya itu semua bukan untuk dinikmati. Warman, masih berdiri menatap kosong. Matanya kembali sayu, merah di raut wajahnya pudar. Hampa, lelah, resah saat sadar Ia tidak berbuat apapun disini untuk tanah dan bangsa ini. Ia hanya butiran pasir yang berserakan dan tidak tahu akan sesuatu.
Warman merasa hanya seorang anak muda di belantara masa kini yang bodoh. Namun, kini dirinya tahu bahwa tak ada sesuatu apapun yang benar-benar gratis (bebas biaya) tulus. Kebajikan hanya ada dalam dongeng pengantar tidur. Hati hanya sebuah benda usang warisan budaya dunia yang lampau dan tersimpan rapih entah dimana. Ini wajah dunia bagi Warman.
Bekasi, Juni 2009
Selengkapnya...
3 minggu yang lalu