Temaram senja merangkak pelan menuju peraduannya. Meski terlihat letih, masih saja berbagi keindahan sinarnya kepada bumi.
Geliat kota menyambut malam. Berbagai rupa dan warna lampu bertengger bersiap menantang sinar rembulan di angkasa raya.
Deretan kendaraan berdesakan mengisi ruas jalan yang saban hari tak pernah sepi. Wajah-wajah resah berderet penuhi trotoar. Menunggu angkutan, bersiap pulang.
Pada sebuah perempatan, di sela-sela kendaraan yang saling berjejalan. Seorang anak dengan tulang tubuh yang masih ’rawan’, menghampiri tiap jendela mesin-mesin dengan body dan warna mengkilap. Ia bernyanyi dengan nada sumbang, mengharap sodoran tangan berisi sekeping logam menjulur dari dalam.
Sesekali harapan itu terwujud namun, tak banyak yang berakhir dengan lambaian. Dari jendela ke jendela. Terus mainkan gitar, berdendang, sesekali mengumpat kesal karena terlalu banyak penolakan.
Peluh menggelayut pada wajahnya. Bibir trotoar menjadi tempat sejenak melepas lelah. Ia pun menumpahkan semua isi kantong plastik kecil, menghitung hasil kerja beberapa jam yang lalu.
Selesai sudah penghitungan. Matanya kembali menatap pada antrian panjang kendaraan. Belum lah kaki kecil nya yang berdebu itu hilang letih, si bocah kembali berlari dan bernyanyi sumbang.
‘Sebuah Tontonan’
Adalah sebuah wajah asli yang terlihat sekarang. Wajah-wajah yang terus bergentayangan di sekitar dan berada dekat dengan kita. Tak berpisah dan tak berjarak.
Pemandangan yang senantiasa ada pada setiap jalan-jalan di Ibu kota negeri ini. Entah pengamen anak-anak, peminta-minta berusia tua, dan tuna wisma yang terpaksa hidup dari sisa-sisa kehidupan kota, atau para peminta uang dengan cara-cara kasar.
Mereka dan kita yang sedikit beruntung kini telah bersatu, melebur tanpa sekat. Dalam keseharian, setiap waktunya, sejak pagi hingga malam. Tak jarang sebagian dari kita menganggap ini adalah masalah yang kerap terjadi pada negara berkembang atau mungkin sebagian beranggapan hal ini persoalan biasa.
Mungkin memang benar ini persoalan bagi negara-negara ke tiga disudut dunia manapun. Mungkin benar juga bagi sebagian dari kita menganggap ini persoalan biasa. karena pemandangan seperti ini dapat dengan mudah kita dapati. Setiap hari.
Lalu, bagaimana bisa persoalan itu dapat menjadi suatu hal yang dianggap biasa? bukankah memerlukan suatu analisis yang mendalam dan data-data valid untuk mengetahui hal itu?
Secara sederhana cobalah kita mengingat kembali sepuluh atau dua puluh tahun belakangan, apakah fenomena serupa tidak pernah terjadi sebelumnya? kemudian lihat kembali masa sekarang, adakah perubahan berarti?
Persoalan yang kerap kita lihat ini layaknya sebuah sinetron berseri yang entah sampai kapan akan berakhir. Tetap tayang setiap waktu, tak pernah khawatir tertinggal karena ada tayangan ulang keesokan harinya.
Seolah sebuah sinetron, maka persoalan kemiskinan sudah tidak lagi mengoyak-ngoyak hati kita sebagai manusia. Karena ia kini menjadi tontonan keseharian, dan kita pun menjadi bagian dari itu semua. Melebur satu. Tanpa batasan.
Sudah sepantasnya ketika menjadi satu bagian yang tidak dapat dipisahkan, kita dapat sekaligus mengenal dan saling mencintai serta berbagi satu sama lain. Namun, di jaman yang serba cepat ini kita seakan dipaksa (baik sadar maupun tidak) untuk selalu berusaha mengejar dan memenuhi tuntutan hidup yang kian hari kian tinggi.
Kemudian kita pun terhanyut oleh itu semua, mulai dari kebutuhan primer hingga kebutuhan tersier yang semakin mengalami pergeseran nilai guna dan fungsi yang sebagian darinya hanya menunjukkan status seseorang dari pergaulan sosial. Kita lalu berlomba memenuhinya. Mengatur taktik dan strategi, tetap fokus pada rencana, jika perlu menghalalkan segala cara guna mendapatkannya.
Beberapa hal tersebut terkadang membuat kita lupa atas apa yang sedang terjadi selama ini. ’Menempatkan kebutuhan pribadi diatas segalanya’. Mengikis rasa dihati.
Lalu cobalah tanyakan pada teman mengenai cerita anak kecil pada awal tulisan ini, atau kisah yang kita lihat di jalan-jalan ibukota (apapun itu masalahnya) jika perlu bumbui dengan kritikan. Tunggulah sejenak apa yang teman kita katakan. Atau mungkin kita sudah dapat menebak jawabannya:
”Udahlah ngapain sih mikirin hal kayak begitu, mending mikirin diri sendiri. Masalah begitu mah biasa, namanya juga Indonesia!”
Selanjutnya, bayangkan lima atau dua puluh tahun ke depan. Adakah anak-anak kecil dengan rupa wajah, pakaian, alat musik yang berbeda tetap ada dijalan-jalan? Atau mungkinkah persoalan ini akan tinggal sejarah? Sementara (mungkin) sebagian besar dari kita memiliki jawaban yang sama atas pertanyaan pada paragraf diatas.
Hiruk pikuk kehidupan Jakarta memang tidak pernah tertidur. Nuasa elegan serta ke eklusif-annya semakin hari kian terasa. Mereduksi arti hakikat keberadaan kita sebagai manusia terhadap manusia lainnya. Energi pun hampir terkuras. Lelah mungkin terasa, memberi waktu kepada diri seolah susah karena lusa harus tetap jalani aktifitas.
Beristirahatlah sejenak dari segala hiruk pikuk kehidupan ini. Singkirkan sementara semua pekerjaan, laptop, handphone, tugas sekolah, diskon besar-besaran di mal. Carilah sudut yang sekiranya cukup nyaman, lalu duduklah dan perhatikan dengan seksama semua hal disekeliling pun tengoklah kembali ke dalam diri. Apa yang kau lihat dan kau rasa?
Selengkapnya...
Geliat kota menyambut malam. Berbagai rupa dan warna lampu bertengger bersiap menantang sinar rembulan di angkasa raya.
Deretan kendaraan berdesakan mengisi ruas jalan yang saban hari tak pernah sepi. Wajah-wajah resah berderet penuhi trotoar. Menunggu angkutan, bersiap pulang.
Pada sebuah perempatan, di sela-sela kendaraan yang saling berjejalan. Seorang anak dengan tulang tubuh yang masih ’rawan’, menghampiri tiap jendela mesin-mesin dengan body dan warna mengkilap. Ia bernyanyi dengan nada sumbang, mengharap sodoran tangan berisi sekeping logam menjulur dari dalam.
Sesekali harapan itu terwujud namun, tak banyak yang berakhir dengan lambaian. Dari jendela ke jendela. Terus mainkan gitar, berdendang, sesekali mengumpat kesal karena terlalu banyak penolakan.
Peluh menggelayut pada wajahnya. Bibir trotoar menjadi tempat sejenak melepas lelah. Ia pun menumpahkan semua isi kantong plastik kecil, menghitung hasil kerja beberapa jam yang lalu.
Selesai sudah penghitungan. Matanya kembali menatap pada antrian panjang kendaraan. Belum lah kaki kecil nya yang berdebu itu hilang letih, si bocah kembali berlari dan bernyanyi sumbang.
‘Sebuah Tontonan’
Adalah sebuah wajah asli yang terlihat sekarang. Wajah-wajah yang terus bergentayangan di sekitar dan berada dekat dengan kita. Tak berpisah dan tak berjarak.
Pemandangan yang senantiasa ada pada setiap jalan-jalan di Ibu kota negeri ini. Entah pengamen anak-anak, peminta-minta berusia tua, dan tuna wisma yang terpaksa hidup dari sisa-sisa kehidupan kota, atau para peminta uang dengan cara-cara kasar.
Mereka dan kita yang sedikit beruntung kini telah bersatu, melebur tanpa sekat. Dalam keseharian, setiap waktunya, sejak pagi hingga malam. Tak jarang sebagian dari kita menganggap ini adalah masalah yang kerap terjadi pada negara berkembang atau mungkin sebagian beranggapan hal ini persoalan biasa.
Mungkin memang benar ini persoalan bagi negara-negara ke tiga disudut dunia manapun. Mungkin benar juga bagi sebagian dari kita menganggap ini persoalan biasa. karena pemandangan seperti ini dapat dengan mudah kita dapati. Setiap hari.
Lalu, bagaimana bisa persoalan itu dapat menjadi suatu hal yang dianggap biasa? bukankah memerlukan suatu analisis yang mendalam dan data-data valid untuk mengetahui hal itu?
Secara sederhana cobalah kita mengingat kembali sepuluh atau dua puluh tahun belakangan, apakah fenomena serupa tidak pernah terjadi sebelumnya? kemudian lihat kembali masa sekarang, adakah perubahan berarti?
Persoalan yang kerap kita lihat ini layaknya sebuah sinetron berseri yang entah sampai kapan akan berakhir. Tetap tayang setiap waktu, tak pernah khawatir tertinggal karena ada tayangan ulang keesokan harinya.
Seolah sebuah sinetron, maka persoalan kemiskinan sudah tidak lagi mengoyak-ngoyak hati kita sebagai manusia. Karena ia kini menjadi tontonan keseharian, dan kita pun menjadi bagian dari itu semua. Melebur satu. Tanpa batasan.
Sudah sepantasnya ketika menjadi satu bagian yang tidak dapat dipisahkan, kita dapat sekaligus mengenal dan saling mencintai serta berbagi satu sama lain. Namun, di jaman yang serba cepat ini kita seakan dipaksa (baik sadar maupun tidak) untuk selalu berusaha mengejar dan memenuhi tuntutan hidup yang kian hari kian tinggi.
Kemudian kita pun terhanyut oleh itu semua, mulai dari kebutuhan primer hingga kebutuhan tersier yang semakin mengalami pergeseran nilai guna dan fungsi yang sebagian darinya hanya menunjukkan status seseorang dari pergaulan sosial. Kita lalu berlomba memenuhinya. Mengatur taktik dan strategi, tetap fokus pada rencana, jika perlu menghalalkan segala cara guna mendapatkannya.
Beberapa hal tersebut terkadang membuat kita lupa atas apa yang sedang terjadi selama ini. ’Menempatkan kebutuhan pribadi diatas segalanya’. Mengikis rasa dihati.
Lalu cobalah tanyakan pada teman mengenai cerita anak kecil pada awal tulisan ini, atau kisah yang kita lihat di jalan-jalan ibukota (apapun itu masalahnya) jika perlu bumbui dengan kritikan. Tunggulah sejenak apa yang teman kita katakan. Atau mungkin kita sudah dapat menebak jawabannya:
”Udahlah ngapain sih mikirin hal kayak begitu, mending mikirin diri sendiri. Masalah begitu mah biasa, namanya juga Indonesia!”
Selanjutnya, bayangkan lima atau dua puluh tahun ke depan. Adakah anak-anak kecil dengan rupa wajah, pakaian, alat musik yang berbeda tetap ada dijalan-jalan? Atau mungkinkah persoalan ini akan tinggal sejarah? Sementara (mungkin) sebagian besar dari kita memiliki jawaban yang sama atas pertanyaan pada paragraf diatas.
Hiruk pikuk kehidupan Jakarta memang tidak pernah tertidur. Nuasa elegan serta ke eklusif-annya semakin hari kian terasa. Mereduksi arti hakikat keberadaan kita sebagai manusia terhadap manusia lainnya. Energi pun hampir terkuras. Lelah mungkin terasa, memberi waktu kepada diri seolah susah karena lusa harus tetap jalani aktifitas.
Beristirahatlah sejenak dari segala hiruk pikuk kehidupan ini. Singkirkan sementara semua pekerjaan, laptop, handphone, tugas sekolah, diskon besar-besaran di mal. Carilah sudut yang sekiranya cukup nyaman, lalu duduklah dan perhatikan dengan seksama semua hal disekeliling pun tengoklah kembali ke dalam diri. Apa yang kau lihat dan kau rasa?