"Banyak istilah jaman sekarang. Ada yang bilang lebih dari lebay. Anak kampungan dibilang alay-alay. Cewek gampangan dibilang jablay...”
Lagu “D’Allays” milik Superglad mengalun mewarnai sore ini. Bersaing dengan suara hujan yang menderu diluar seolah saling berlomba memperebutkan tempat di telinga.
Nada riangnya seakan mengajak tubuh ini bergoyang dan berdendang ikuti irama. Ingin rasanya hati menuruti rayuan itu, tapi enggan untuk memulainya. Hanya cukup mendengar dan memperhatikan lirik-lirik yang entah bermakna kritik atau sindiran, namun yang pasti lagu tersebut berhasil menangkap gejala perubahan sosial dimasyarakat.
Banyak sekali kosakata atau istilah baru yang digunakan dalam penulisan lirik ini, namun ada satu istilah yang cukup mengusik dan menjadi tren saat ini baik dikalangan anak muda atau masyarakat pada umumnya.
Alay salah satunya, yang juga menjadi judul dari lagu tersebut. Aku, kamu, kita mungkin sudah tidak asing lagi mendengar istilah tersebut yang saat ini trendi. Bahkan salah satu saluran televisi musik terbesar di dunia, MTV membuat sebuah program acara dengan tema MTV ALAY! yang entah apa maksudnya.
Hati pun tergelitik untuk mencoba mencari tahu apa arti dan bagaimana alay itu. Dunia maya pun dikunjungi, berbagai laman jejaring sosial dimasuki, forum pun dijelajahi hingga perbincangan singkat dengan beberapa orang dilakukan namun jawaban buram yang didapat.
Mengenai asal usul dan definisi secara pasti tentang alay tidak begitu jelas seakan muncul dengan sendirinya dan menyebar layaknya air mengalir mengikuti dataran yang lebih rendah. Sebagai sebuah istilah, yang jelas alay itu ‘diberikan’ kepada orang-orang yang dianggap berbeda.
Seperti penuturan Frans pemuda yang tinggal di wilayah Jakarta Selatan mengenai alay. Dengan gaya bicara cukup lincah ia mengatakan bahwa alay merupakan kepanjangan dari anak layangan, yang dekil, kucel, kumel serta memiliki warna rambut kemerahan seperti terbakar panas matahari. Dia juga menambahkan bahwa mereka yang diberi predikat alay, jika nongkrong tidak memiliki ‘modal’ serta sok mengikuti gaya dan kampungan. Hal senada juga diberikan oleh empat anak muda jakarta lainnya mengenai alay: kampungan. Kesan kampungan ini pula yang menurut saya kental akan nada diskriminasi terhadap mereka yang tidak memiliki akses informasi.
Kita mengetahui bahwa term kampungan berasal dari kata kampung yang berarti kesatuan administrasi terkecil yang menempati wilayah tertentu, terletak di bawah kecamatan; terkebelakang (belum modern); berkaitan dengan kebiasaan di kampung; kolot*. Dengan arti lain alay adalah mereka yang berada dikelas bawah dalam stratifikasi sosial.
Kemunculan alay sebagai sebuah istilah kiranya perlu dilihat secara lebih luas. Banyak kesan miring melekat erat padanya. Bahkan tak jarang saya mendengar bahwa mereka yang diberi cap alay berasal dari wilayah yang bukan Jakarta (sebut saja kampung) hanya karena gaya berpakaiannya, dan dititik inilah terjadinya pengkotakan antara kampung dan kota. Tidak hanya itu banyak olokan dengan nada merendahkan yang ditujukan terhadap alay.
Kesan negatif terhadap alay juga terjadi di dunia maya bahkan terkesan sebagai cyberbullying. Hal ini terlihat dari banyak blogger membuat tulisan yang mengarah pada pembentukan opini publik bahwa alay adalah masalah. Bahkan, ada beberapa orang (entah sengaja atau tidak) membuat page di Facebook bernama “pembenci alay” dan “anti alay”. Kedua page kontra alay itu bahkan disukai ribuan orang pengguna jejaring sosial tersebut.
Hal lainnya yang juga tidak kalah menariknya adalah banyaknya tulisan yang dengan seenaknya memberikan kriteria atau pun ciri dari alay bernada sinis dan merendahkan. Mulai dari selera musik, penggunaan gaya bahasa** , model rambut, hingga gaya berpakaian. Semua hal mengenai ciri-ciri alay itu sama sekali tidak masuk akal dan tidak valid serta cenderung men-stereotip-kan seseorang atau kelompok orang tertentu.
Munculnya persoalan ini ke permukaan terjadi karena adanya distribusi pendapatan (kepemilikan alat produksi dan modal) yang tidak merata dimasyarakat serta gaya hidup perkotaan yang jauh dari kesan sederhana. Hal itu tentu sangat mempengaruhi kondisi seseorang yang berusaha mengekspresikan dirinya agar tetap mendapat tempat dilingkungannya.
Pembangunan pusat perbelanjaan yang mewah, tayangan iklan baik di televisi maupun dipinggir-pinggir jalan menjadi faktor penambah pembentukan pola pikir masyarakat. Seperti iklan perumahan, mobil, telepon genggam, aliran musik serta lokasi ‘nongkrong’ telah mengalami pergeseran makna dan menentukan kelas sosial seseorang.
Persoalannya kemudian adalah, jika pendapatan yang tidak merata serta arus gaya hidup perkotaan yang begitu cepat dan mewah menjadi halangan bagi mereka yang tidak memiliki banyak uang, maka sebagian dari mereka itu akan berusaha mengikutinya semampu apa yang bisa dilakukan, karena orang-orang yang dicap sebagai alay juga memiliki hak untuk menikmati dan mengkespresikan diri. Jika seperti ini layak kah istilah alay itu tetap digunakan?
* Kamus besar bahasa indonesia **Penggunaan gaya bahasa yang terlihat berbeda ini sering ditemui pada penulisan pesan singkat (sms), atau pun facebook. Bahkan, ada sebuah aplikasi khusus menerjemahkan ’bahasa alay’ berbasis web bernama ’The Simple "ALAY" Text Generator’, tampaknya pula si pembuat aplikasi ini adalah orang yang juga tidak menyukai alay. Terlihat dari deskripsi aplikasi tersebut yang tertulis ”Generator buat bikin tulisan orang-orang alay yang menyebalkan... menjijikkan...” (http://alaygenerator.co.cc/)
Lagu “D’Allays” milik Superglad mengalun mewarnai sore ini. Bersaing dengan suara hujan yang menderu diluar seolah saling berlomba memperebutkan tempat di telinga.
Nada riangnya seakan mengajak tubuh ini bergoyang dan berdendang ikuti irama. Ingin rasanya hati menuruti rayuan itu, tapi enggan untuk memulainya. Hanya cukup mendengar dan memperhatikan lirik-lirik yang entah bermakna kritik atau sindiran, namun yang pasti lagu tersebut berhasil menangkap gejala perubahan sosial dimasyarakat.
Banyak sekali kosakata atau istilah baru yang digunakan dalam penulisan lirik ini, namun ada satu istilah yang cukup mengusik dan menjadi tren saat ini baik dikalangan anak muda atau masyarakat pada umumnya.
Alay salah satunya, yang juga menjadi judul dari lagu tersebut. Aku, kamu, kita mungkin sudah tidak asing lagi mendengar istilah tersebut yang saat ini trendi. Bahkan salah satu saluran televisi musik terbesar di dunia, MTV membuat sebuah program acara dengan tema MTV ALAY! yang entah apa maksudnya.
Hati pun tergelitik untuk mencoba mencari tahu apa arti dan bagaimana alay itu. Dunia maya pun dikunjungi, berbagai laman jejaring sosial dimasuki, forum pun dijelajahi hingga perbincangan singkat dengan beberapa orang dilakukan namun jawaban buram yang didapat.
Mengenai asal usul dan definisi secara pasti tentang alay tidak begitu jelas seakan muncul dengan sendirinya dan menyebar layaknya air mengalir mengikuti dataran yang lebih rendah. Sebagai sebuah istilah, yang jelas alay itu ‘diberikan’ kepada orang-orang yang dianggap berbeda.
Seperti penuturan Frans pemuda yang tinggal di wilayah Jakarta Selatan mengenai alay. Dengan gaya bicara cukup lincah ia mengatakan bahwa alay merupakan kepanjangan dari anak layangan, yang dekil, kucel, kumel serta memiliki warna rambut kemerahan seperti terbakar panas matahari. Dia juga menambahkan bahwa mereka yang diberi predikat alay, jika nongkrong tidak memiliki ‘modal’ serta sok mengikuti gaya dan kampungan. Hal senada juga diberikan oleh empat anak muda jakarta lainnya mengenai alay: kampungan. Kesan kampungan ini pula yang menurut saya kental akan nada diskriminasi terhadap mereka yang tidak memiliki akses informasi.
Kita mengetahui bahwa term kampungan berasal dari kata kampung yang berarti kesatuan administrasi terkecil yang menempati wilayah tertentu, terletak di bawah kecamatan; terkebelakang (belum modern); berkaitan dengan kebiasaan di kampung; kolot*. Dengan arti lain alay adalah mereka yang berada dikelas bawah dalam stratifikasi sosial.
Kemunculan alay sebagai sebuah istilah kiranya perlu dilihat secara lebih luas. Banyak kesan miring melekat erat padanya. Bahkan tak jarang saya mendengar bahwa mereka yang diberi cap alay berasal dari wilayah yang bukan Jakarta (sebut saja kampung) hanya karena gaya berpakaiannya, dan dititik inilah terjadinya pengkotakan antara kampung dan kota. Tidak hanya itu banyak olokan dengan nada merendahkan yang ditujukan terhadap alay.
Kesan negatif terhadap alay juga terjadi di dunia maya bahkan terkesan sebagai cyberbullying. Hal ini terlihat dari banyak blogger membuat tulisan yang mengarah pada pembentukan opini publik bahwa alay adalah masalah. Bahkan, ada beberapa orang (entah sengaja atau tidak) membuat page di Facebook bernama “pembenci alay” dan “anti alay”. Kedua page kontra alay itu bahkan disukai ribuan orang pengguna jejaring sosial tersebut.
Hal lainnya yang juga tidak kalah menariknya adalah banyaknya tulisan yang dengan seenaknya memberikan kriteria atau pun ciri dari alay bernada sinis dan merendahkan. Mulai dari selera musik, penggunaan gaya bahasa** , model rambut, hingga gaya berpakaian. Semua hal mengenai ciri-ciri alay itu sama sekali tidak masuk akal dan tidak valid serta cenderung men-stereotip-kan seseorang atau kelompok orang tertentu.
Munculnya persoalan ini ke permukaan terjadi karena adanya distribusi pendapatan (kepemilikan alat produksi dan modal) yang tidak merata dimasyarakat serta gaya hidup perkotaan yang jauh dari kesan sederhana. Hal itu tentu sangat mempengaruhi kondisi seseorang yang berusaha mengekspresikan dirinya agar tetap mendapat tempat dilingkungannya.
Pembangunan pusat perbelanjaan yang mewah, tayangan iklan baik di televisi maupun dipinggir-pinggir jalan menjadi faktor penambah pembentukan pola pikir masyarakat. Seperti iklan perumahan, mobil, telepon genggam, aliran musik serta lokasi ‘nongkrong’ telah mengalami pergeseran makna dan menentukan kelas sosial seseorang.
Persoalannya kemudian adalah, jika pendapatan yang tidak merata serta arus gaya hidup perkotaan yang begitu cepat dan mewah menjadi halangan bagi mereka yang tidak memiliki banyak uang, maka sebagian dari mereka itu akan berusaha mengikutinya semampu apa yang bisa dilakukan, karena orang-orang yang dicap sebagai alay juga memiliki hak untuk menikmati dan mengkespresikan diri. Jika seperti ini layak kah istilah alay itu tetap digunakan?
* Kamus besar bahasa indonesia **Penggunaan gaya bahasa yang terlihat berbeda ini sering ditemui pada penulisan pesan singkat (sms), atau pun facebook. Bahkan, ada sebuah aplikasi khusus menerjemahkan ’bahasa alay’ berbasis web bernama ’The Simple "ALAY" Text Generator’, tampaknya pula si pembuat aplikasi ini adalah orang yang juga tidak menyukai alay. Terlihat dari deskripsi aplikasi tersebut yang tertulis ”Generator buat bikin tulisan orang-orang alay yang menyebalkan... menjijikkan...” (http://alaygenerator.co.cc/)
0 komentar:
Posting Komentar