Kamis, 14 Oktober 2010

Mari beristirahat: membuat jeda

Temaram senja merangkak pelan menuju peraduannya. Meski terlihat letih, masih saja berbagi keindahan sinarnya kepada bumi.

Geliat kota menyambut malam. Berbagai rupa dan warna lampu bertengger bersiap menantang sinar rembulan di angkasa raya.

Deretan kendaraan berdesakan mengisi ruas jalan yang saban hari tak pernah sepi. Wajah-wajah resah berderet penuhi trotoar. Menunggu angkutan, bersiap pulang.

Pada sebuah perempatan, di sela-sela kendaraan yang saling berjejalan. Seorang anak dengan tulang tubuh yang masih ’rawan’, menghampiri tiap jendela mesin-mesin dengan body dan warna mengkilap. Ia bernyanyi dengan nada sumbang, mengharap sodoran tangan berisi sekeping logam menjulur dari dalam.

Sesekali harapan itu terwujud namun, tak banyak yang berakhir dengan lambaian. Dari jendela ke jendela. Terus mainkan gitar, berdendang, sesekali mengumpat kesal karena terlalu banyak penolakan.

Peluh menggelayut pada wajahnya. Bibir trotoar menjadi tempat sejenak melepas lelah. Ia pun menumpahkan semua isi kantong plastik kecil, menghitung hasil kerja beberapa jam yang lalu.

Selesai sudah penghitungan. Matanya kembali menatap pada antrian panjang kendaraan. Belum lah kaki kecil nya yang berdebu itu hilang letih, si bocah kembali berlari dan bernyanyi sumbang.

‘Sebuah Tontonan’

Adalah sebuah wajah asli yang terlihat sekarang. Wajah-wajah yang terus bergentayangan di sekitar dan berada dekat dengan kita. Tak berpisah dan tak berjarak.

Pemandangan yang senantiasa ada pada setiap jalan-jalan di Ibu kota negeri ini. Entah pengamen anak-anak, peminta-minta berusia tua, dan tuna wisma yang terpaksa hidup dari sisa-sisa kehidupan kota, atau para peminta uang dengan cara-cara kasar.

Mereka dan kita yang sedikit beruntung kini telah bersatu, melebur tanpa sekat. Dalam keseharian, setiap waktunya, sejak pagi hingga malam. Tak jarang sebagian dari kita menganggap ini adalah masalah yang kerap terjadi pada negara berkembang atau mungkin sebagian beranggapan hal ini persoalan biasa.

Mungkin memang benar ini persoalan bagi negara-negara ke tiga disudut dunia manapun. Mungkin benar juga bagi sebagian dari kita menganggap ini persoalan biasa. karena pemandangan seperti ini dapat dengan mudah kita dapati. Setiap hari.

Lalu, bagaimana bisa persoalan itu dapat menjadi suatu hal yang dianggap biasa? bukankah memerlukan suatu analisis yang mendalam dan data-data valid untuk mengetahui hal itu?

Secara sederhana cobalah kita mengingat kembali sepuluh atau dua puluh tahun belakangan, apakah fenomena serupa tidak pernah terjadi sebelumnya? kemudian lihat kembali masa sekarang, adakah perubahan berarti?

Persoalan yang kerap kita lihat ini layaknya sebuah sinetron berseri yang entah sampai kapan akan berakhir. Tetap tayang setiap waktu, tak pernah khawatir tertinggal karena ada tayangan ulang keesokan harinya.

Seolah sebuah sinetron, maka persoalan kemiskinan sudah tidak lagi mengoyak-ngoyak hati kita sebagai manusia. Karena ia kini menjadi tontonan keseharian, dan kita pun menjadi bagian dari itu semua. Melebur satu. Tanpa batasan.

Sudah sepantasnya ketika menjadi satu bagian yang tidak dapat dipisahkan, kita dapat sekaligus mengenal dan saling mencintai serta berbagi satu sama lain. Namun, di jaman yang serba cepat ini kita seakan dipaksa (baik sadar maupun tidak) untuk selalu berusaha mengejar dan memenuhi tuntutan hidup yang kian hari kian tinggi.

Kemudian kita pun terhanyut oleh itu semua, mulai dari kebutuhan primer hingga kebutuhan tersier yang semakin mengalami pergeseran nilai guna dan fungsi yang sebagian darinya hanya menunjukkan status seseorang dari pergaulan sosial. Kita lalu berlomba memenuhinya. Mengatur taktik dan strategi, tetap fokus pada rencana, jika perlu menghalalkan segala cara guna mendapatkannya.

Beberapa hal tersebut terkadang membuat kita lupa atas apa yang sedang terjadi selama ini. ’Menempatkan kebutuhan pribadi diatas segalanya’. Mengikis rasa dihati.

Lalu cobalah tanyakan pada teman mengenai cerita anak kecil pada awal tulisan ini, atau kisah yang kita lihat di jalan-jalan ibukota (apapun itu masalahnya) jika perlu bumbui dengan kritikan. Tunggulah sejenak apa yang teman kita katakan. Atau mungkin kita sudah dapat menebak jawabannya:

”Udahlah ngapain sih mikirin hal kayak begitu, mending mikirin diri sendiri. Masalah begitu mah biasa, namanya juga Indonesia!”

Selanjutnya, bayangkan lima atau dua puluh tahun ke depan. Adakah anak-anak kecil dengan rupa wajah, pakaian, alat musik yang berbeda tetap ada dijalan-jalan? Atau mungkinkah persoalan ini akan tinggal sejarah? Sementara (mungkin) sebagian besar dari kita memiliki jawaban yang sama atas pertanyaan pada paragraf diatas.

Hiruk pikuk kehidupan Jakarta memang tidak pernah tertidur. Nuasa elegan serta ke eklusif-annya semakin hari kian terasa. Mereduksi arti hakikat keberadaan kita sebagai manusia terhadap manusia lainnya. Energi pun hampir terkuras. Lelah mungkin terasa, memberi waktu kepada diri seolah susah karena lusa harus tetap jalani aktifitas.

Beristirahatlah sejenak dari segala hiruk pikuk kehidupan ini. Singkirkan sementara semua pekerjaan, laptop, handphone, tugas sekolah, diskon besar-besaran di mal. Carilah sudut yang sekiranya cukup nyaman, lalu duduklah dan perhatikan dengan seksama semua hal disekeliling pun tengoklah kembali ke dalam diri. Apa yang kau lihat dan kau rasa?

Selengkapnya...

Rabu, 13 Oktober 2010

Alay : hanya sebutan atau ada makna lain?

"Banyak istilah jaman sekarang. Ada yang bilang lebih dari lebay. Anak kampungan dibilang alay-alay. Cewek gampangan dibilang jablay...”

Lagu “D’Allays” milik Superglad mengalun mewarnai sore ini. Bersaing dengan suara hujan yang menderu diluar seolah saling berlomba memperebutkan tempat di telinga.

Nada riangnya seakan mengajak tubuh ini bergoyang dan berdendang ikuti irama. Ingin rasanya hati menuruti rayuan itu, tapi enggan untuk memulainya. Hanya cukup mendengar dan memperhatikan lirik-lirik yang entah bermakna kritik atau sindiran, namun yang pasti lagu tersebut berhasil menangkap gejala perubahan sosial dimasyarakat.

Banyak sekali kosakata atau istilah baru yang digunakan dalam penulisan lirik ini, namun ada satu istilah yang cukup mengusik dan menjadi tren saat ini baik dikalangan anak muda atau masyarakat pada umumnya.

Alay salah satunya, yang juga menjadi judul dari lagu tersebut. Aku, kamu, kita mungkin sudah tidak asing lagi mendengar istilah tersebut yang saat ini trendi. Bahkan salah satu saluran televisi musik terbesar di dunia, MTV membuat sebuah program acara dengan tema MTV ALAY! yang entah apa maksudnya.

Hati pun tergelitik untuk mencoba mencari tahu apa arti dan bagaimana alay itu. Dunia maya pun dikunjungi, berbagai laman jejaring sosial dimasuki, forum pun dijelajahi hingga perbincangan singkat dengan beberapa orang dilakukan namun jawaban buram yang didapat.

Mengenai asal usul dan definisi secara pasti tentang alay tidak begitu jelas seakan muncul dengan sendirinya dan menyebar layaknya air mengalir mengikuti dataran yang lebih rendah. Sebagai sebuah istilah, yang jelas alay itu ‘diberikan’ kepada orang-orang yang dianggap berbeda.

Seperti penuturan Frans pemuda yang tinggal di wilayah Jakarta Selatan mengenai alay. Dengan gaya bicara cukup lincah ia mengatakan bahwa alay merupakan kepanjangan dari anak layangan, yang dekil, kucel, kumel serta memiliki warna rambut kemerahan seperti terbakar panas matahari. Dia juga menambahkan bahwa mereka yang diberi predikat alay, jika nongkrong tidak memiliki ‘modal’ serta sok mengikuti gaya dan kampungan. Hal senada juga diberikan oleh empat anak muda jakarta lainnya mengenai alay: kampungan. Kesan kampungan ini pula yang menurut saya kental akan nada diskriminasi terhadap mereka yang tidak memiliki akses informasi.

Kita mengetahui bahwa term kampungan berasal dari kata kampung yang berarti kesatuan administrasi terkecil yang menempati wilayah tertentu, terletak di bawah kecamatan; terkebelakang (belum modern); berkaitan dengan kebiasaan di kampung; kolot*. Dengan arti lain alay adalah mereka yang berada dikelas bawah dalam stratifikasi sosial.

Kemunculan alay sebagai sebuah istilah kiranya perlu dilihat secara lebih luas. Banyak kesan miring melekat erat padanya. Bahkan tak jarang saya mendengar bahwa mereka yang diberi cap alay berasal dari wilayah yang bukan Jakarta (sebut saja kampung) hanya karena gaya berpakaiannya, dan dititik inilah terjadinya pengkotakan antara kampung dan kota. Tidak hanya itu banyak olokan dengan nada merendahkan yang ditujukan terhadap alay.

Kesan negatif terhadap alay juga terjadi di dunia maya bahkan terkesan sebagai cyberbullying. Hal ini terlihat dari banyak blogger membuat tulisan yang mengarah pada pembentukan opini publik bahwa alay adalah masalah. Bahkan, ada beberapa orang (entah sengaja atau tidak) membuat page di Facebook bernama “pembenci alay” dan “anti alay”. Kedua page kontra alay itu bahkan disukai ribuan orang pengguna jejaring sosial tersebut.

Hal lainnya yang juga tidak kalah menariknya adalah banyaknya tulisan yang dengan seenaknya memberikan kriteria atau pun ciri dari alay bernada sinis dan merendahkan. Mulai dari selera musik, penggunaan gaya bahasa** , model rambut, hingga gaya berpakaian. Semua hal mengenai ciri-ciri alay itu sama sekali tidak masuk akal dan tidak valid serta cenderung men-stereotip-kan seseorang atau kelompok orang tertentu.

Munculnya persoalan ini ke permukaan terjadi karena adanya distribusi pendapatan (kepemilikan alat produksi dan modal) yang tidak merata dimasyarakat serta gaya hidup perkotaan yang jauh dari kesan sederhana. Hal itu tentu sangat mempengaruhi kondisi seseorang yang berusaha mengekspresikan dirinya agar tetap mendapat tempat dilingkungannya.

Pembangunan pusat perbelanjaan yang mewah, tayangan iklan baik di televisi maupun dipinggir-pinggir jalan menjadi faktor penambah pembentukan pola pikir masyarakat. Seperti iklan perumahan, mobil, telepon genggam, aliran musik serta lokasi ‘nongkrong’ telah mengalami pergeseran makna dan menentukan kelas sosial seseorang.

Persoalannya kemudian adalah, jika pendapatan yang tidak merata serta arus gaya hidup perkotaan yang begitu cepat dan mewah menjadi halangan bagi mereka yang tidak memiliki banyak uang, maka sebagian dari mereka itu akan berusaha mengikutinya semampu apa yang bisa dilakukan, karena orang-orang yang dicap sebagai alay juga memiliki hak untuk menikmati dan mengkespresikan diri. Jika seperti ini layak kah istilah alay itu tetap digunakan?

* Kamus besar bahasa indonesia **Penggunaan gaya bahasa yang terlihat berbeda ini sering ditemui pada penulisan pesan singkat (sms), atau pun facebook. Bahkan, ada sebuah aplikasi khusus menerjemahkan ’bahasa alay’ berbasis web bernama ’The Simple "ALAY" Text Generator’, tampaknya pula si pembuat aplikasi ini adalah orang yang juga tidak menyukai alay. Terlihat dari deskripsi aplikasi tersebut yang tertulis ”Generator buat bikin tulisan orang-orang alay yang menyebalkan... menjijikkan...” (http://alaygenerator.co.cc/)
Selengkapnya...

Tukeran Link

Senjakala Hati

Award Friendship Diary Osi

Thanks To Diary Osi