Kali ini keheningan yang berbicara saat kapal ferry perlahan mulai berlabuh meninggalkan hiruk pikuk Gilimanuk. Dari dek atas lantai dua, pada sisi kanan tepat sebelah ruangan nakhoda bersarang. Sayup angin lembut menyentuh badan kapal bak seorang Ibu mengusap kepala anaknya yang hendak pergi merantau.
Diluar sana, air laut terlihat tenang. Seolah tak terganggu oleh kapal besar yang sedang melintas di permukaan. Burung-burung camar sesekali menyentuhkan paruhnya kedalam air lalu kembali terbang menghias langit.
Ah, ingin rasanya berbagi keindahan sore di selat yang memisahkan antara Jawa dan Bali ini dan aku ingin bercerita tentang apa yang sedang terjadi pada pulau dewata kepadamu. Hey! Tahukah kamu bahwa hari kemarin Bali merayakan Nyepi? Sebuah perayaan bagi umat Hindu guna membersihkan diri dari segala dosa serta sebagai tanda pergantian tahun pada penanggalan Bali: Saka.
Suasana terasa begitu meriah di Pulau itu. Setiap banjar memiliki ogoh-ogoh - sebuah boneka besar terbuat dari rangka bambu serta kertas berbentuk setan dalam berbagai rupa -“ serta upacara keagamaan yang ikut menambah suasana seolah menjadi lebih relijius.
Dahulu, Nyepi yang berarti sepi, dilaksanakan dalam jangka waktu berbeda-beda. Jika sekarang kita mengenalnya hanya dilakukan selama satu hari, maka puluhan tahun silam ibadah tersebut dilakukan selama 3-4 hari. Entahlah, siapa yang kemudian merubah itu menjadi satu hari seperti saat ini, namun yang pasti Nyepi tidak hanya membawa kebaikan bagi masyarakat di Bali atau yang merayakannya saja tetapi juga pada dunia.
Akan ku ceritakan pada mu perihal itu bagi seluruh bangsa-bangsa yang hidup di atas bumi ini. Mungkin hanya sedikit yang dapat ku beritakan dan terbatas pada nilai-nilai dasar Nyepi, karena aku bukanlah orang yang menguasai dengan jelas persoalan ini.
Kamu tahu, Nyepi memiliki empat pondasi utama yang menjadi acuan dalam menjalankannya. Amati Geni, Amati Karya, Amati Lelungan, Amati Lelanguan, adalah pondasi tersebut. Amati Geni berarti tidak menyalakan api (penerangan) atau mengendalikan api amarah dalam diri. Amati Karya tidak melakukan aktifitas (bekerja). Amati Lelungan adalah tidak bepergian keluar rumah. Sedangkan Amati Lelanguan yaitu tidak mengumbar hawa nafsu atau tidak menikmati hiburan.
Melihat keempat dasar itu bisa kau bayangkan, ketika Nyepi berlangsung praktis semua kehidupan "berhenti". Orang-orang tidak boleh melakukan aktifitas kesehariannya selama 24 jam penuh: mulai jam 06.00 pagi hingga jam 06.00 keesokan harinya. Seorang teman pernah bercerita bahwa masyarakat yang menjalani Nyepi akan berdiam diri dalam rumah, bermeditasi, dan lebih mendekatkan diri pada sang pencipta. Hening dan sunyi: sepi.
Oleh karena itu, tidak hanya pada masyarakat saja kehidupan "berhenti" pun, bandara, terminal, pelabuhan, pasar, mal, hotel, serta semua bentuk industri lainnya yang berada di pulau itu juga turut menstop semua kegiatannya.
Kamu pasti heran membaca penjelasan ku yang sangat singkat ini mengenai keterkaitan Nyepi dan nilai-nilai kebaikannya yang menyebar ke seluruh pelosok bumi.
Baiklah, masih ingatkah kau mengenai lapisan es yang mulai mencair, perubahan musim, serta sampai pada meluasnya penyakit-penyakit daerah khas tropis atau tentang permasalahan atmosfer yang penuh dengan gas emisi di atas sana? Aku tahu kamu pasti ingat karena selama ini kau lah mesin pengingat ku untuk hal-hal itu.
Kita berdua tahu bahwa, bumi sebagai media tempat kita bertemu, sedang mengalami ancaman bencana yang bahkan kita sendiri tidak pernah membayangkan sebelumnya. Bencana yang dibuat oleh manusia sendiri lewat penggunaan energi yang berlebihan, merampok kayu serta membabat hutan tropis, kemudian menggantinya dengan perkebunan sawit atau tambang mineral. Selain itu konsumsi bahan bakar fosil besar-besaran, serta berbagai hal lainnya, adalah sumber utama bencana yang hingga sekarang terus berjalan.
Ancaman itulah yang belakangan marak dikenal dengan perubahan iklim: persoalan utama bumi. Berbagai solusi, baik itu berupa kesepakatan internasional hingga solusi sederhana, dibuat kemudian ditawarkan kepada semua Negara-negara di dunia. Lucunya, solusi tersebut yang lebih dikenal khalayak ramai meski asal datangnya entah dari mana.
Untuk Indonesia sendiri, solusi bagi degradasi lingkungan hidup sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Tengok lah hutan serta tanah adat yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang dan kearifan lokal ini ada pada semua suku bangsa di nusantara.
Pun begitu dengan Nyepi yang sudah hadir sejak lama. Ketika Nyepi sedang berlangsung, maka semua aktifitas manusia berhenti total. Lalu, kamu pun bisa menebak dampaknya: berhentinya gas emisi yang terbuang ke angkasa. Sungguh aneh rasanya bila Nyepi sebagai salah satu bentuk kearifan lokal bangsa ini, hanya dilihat dari sekedar persoalan ibadah manusia dengan sang pencipta bukan kepada turut serta berkontribusi mencegah terlepasnya gas rumah kaca.
Memang cukup sulit untuk mengadopsi nilai tersebut, tapi kita bisa melakukan solusi sederhana yang dapat dilakukan dengan mudah berdasarkan cerminan pada apa yang terkandung dalam Nyepi. Mematikan lampu misalnya atau mulai menggunakan transportasi publik, menggiatkan kembali sepeda, atau berbagai hal lainnya yang sangat dekat dengan kita.
Begitulah, sedikit cerita ketika di Bali. Sebenarnya banyak kisah yang ingin ku bagi dari perjalananan ini, namun rangkaian aksara tidak akan cukup untuk menjelaskan semua. Mungkin nanti ketika kita bertemu dalam temaram cahaya bulan dan bintang gemintang, setelah lampu dimatikan akan ku kisahkan kembali semua kepada mu.
Kapal terasa lambat sekali, Pulau Bali semakin jauh tertinggal. Angin masih bertiup lembut. Di luar sana laut tetap tenang hanya riak-riak kecil yang membuatnya sedikit bergejolak. Raja siang mulai siap berpulang. Daratan di depan semakin terlihat jelas. Klakson kapal memecah keheningan. Hiruk pikuk sesapu terdengar. Pulau Jawa hadir di depan. Tunggu aku di Jakarta pada Minggu ke empat bulan maret.
Gilimanuk-Ketapang, 2011 Selengkapnya...
Diluar sana, air laut terlihat tenang. Seolah tak terganggu oleh kapal besar yang sedang melintas di permukaan. Burung-burung camar sesekali menyentuhkan paruhnya kedalam air lalu kembali terbang menghias langit.
Ah, ingin rasanya berbagi keindahan sore di selat yang memisahkan antara Jawa dan Bali ini dan aku ingin bercerita tentang apa yang sedang terjadi pada pulau dewata kepadamu. Hey! Tahukah kamu bahwa hari kemarin Bali merayakan Nyepi? Sebuah perayaan bagi umat Hindu guna membersihkan diri dari segala dosa serta sebagai tanda pergantian tahun pada penanggalan Bali: Saka.
Suasana terasa begitu meriah di Pulau itu. Setiap banjar memiliki ogoh-ogoh - sebuah boneka besar terbuat dari rangka bambu serta kertas berbentuk setan dalam berbagai rupa -“ serta upacara keagamaan yang ikut menambah suasana seolah menjadi lebih relijius.
Dahulu, Nyepi yang berarti sepi, dilaksanakan dalam jangka waktu berbeda-beda. Jika sekarang kita mengenalnya hanya dilakukan selama satu hari, maka puluhan tahun silam ibadah tersebut dilakukan selama 3-4 hari. Entahlah, siapa yang kemudian merubah itu menjadi satu hari seperti saat ini, namun yang pasti Nyepi tidak hanya membawa kebaikan bagi masyarakat di Bali atau yang merayakannya saja tetapi juga pada dunia.
Akan ku ceritakan pada mu perihal itu bagi seluruh bangsa-bangsa yang hidup di atas bumi ini. Mungkin hanya sedikit yang dapat ku beritakan dan terbatas pada nilai-nilai dasar Nyepi, karena aku bukanlah orang yang menguasai dengan jelas persoalan ini.
Kamu tahu, Nyepi memiliki empat pondasi utama yang menjadi acuan dalam menjalankannya. Amati Geni, Amati Karya, Amati Lelungan, Amati Lelanguan, adalah pondasi tersebut. Amati Geni berarti tidak menyalakan api (penerangan) atau mengendalikan api amarah dalam diri. Amati Karya tidak melakukan aktifitas (bekerja). Amati Lelungan adalah tidak bepergian keluar rumah. Sedangkan Amati Lelanguan yaitu tidak mengumbar hawa nafsu atau tidak menikmati hiburan.
Melihat keempat dasar itu bisa kau bayangkan, ketika Nyepi berlangsung praktis semua kehidupan "berhenti". Orang-orang tidak boleh melakukan aktifitas kesehariannya selama 24 jam penuh: mulai jam 06.00 pagi hingga jam 06.00 keesokan harinya. Seorang teman pernah bercerita bahwa masyarakat yang menjalani Nyepi akan berdiam diri dalam rumah, bermeditasi, dan lebih mendekatkan diri pada sang pencipta. Hening dan sunyi: sepi.
Oleh karena itu, tidak hanya pada masyarakat saja kehidupan "berhenti" pun, bandara, terminal, pelabuhan, pasar, mal, hotel, serta semua bentuk industri lainnya yang berada di pulau itu juga turut menstop semua kegiatannya.
Kamu pasti heran membaca penjelasan ku yang sangat singkat ini mengenai keterkaitan Nyepi dan nilai-nilai kebaikannya yang menyebar ke seluruh pelosok bumi.
Baiklah, masih ingatkah kau mengenai lapisan es yang mulai mencair, perubahan musim, serta sampai pada meluasnya penyakit-penyakit daerah khas tropis atau tentang permasalahan atmosfer yang penuh dengan gas emisi di atas sana? Aku tahu kamu pasti ingat karena selama ini kau lah mesin pengingat ku untuk hal-hal itu.
Kita berdua tahu bahwa, bumi sebagai media tempat kita bertemu, sedang mengalami ancaman bencana yang bahkan kita sendiri tidak pernah membayangkan sebelumnya. Bencana yang dibuat oleh manusia sendiri lewat penggunaan energi yang berlebihan, merampok kayu serta membabat hutan tropis, kemudian menggantinya dengan perkebunan sawit atau tambang mineral. Selain itu konsumsi bahan bakar fosil besar-besaran, serta berbagai hal lainnya, adalah sumber utama bencana yang hingga sekarang terus berjalan.
Ancaman itulah yang belakangan marak dikenal dengan perubahan iklim: persoalan utama bumi. Berbagai solusi, baik itu berupa kesepakatan internasional hingga solusi sederhana, dibuat kemudian ditawarkan kepada semua Negara-negara di dunia. Lucunya, solusi tersebut yang lebih dikenal khalayak ramai meski asal datangnya entah dari mana.
Untuk Indonesia sendiri, solusi bagi degradasi lingkungan hidup sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Tengok lah hutan serta tanah adat yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang dan kearifan lokal ini ada pada semua suku bangsa di nusantara.
Pun begitu dengan Nyepi yang sudah hadir sejak lama. Ketika Nyepi sedang berlangsung, maka semua aktifitas manusia berhenti total. Lalu, kamu pun bisa menebak dampaknya: berhentinya gas emisi yang terbuang ke angkasa. Sungguh aneh rasanya bila Nyepi sebagai salah satu bentuk kearifan lokal bangsa ini, hanya dilihat dari sekedar persoalan ibadah manusia dengan sang pencipta bukan kepada turut serta berkontribusi mencegah terlepasnya gas rumah kaca.
Memang cukup sulit untuk mengadopsi nilai tersebut, tapi kita bisa melakukan solusi sederhana yang dapat dilakukan dengan mudah berdasarkan cerminan pada apa yang terkandung dalam Nyepi. Mematikan lampu misalnya atau mulai menggunakan transportasi publik, menggiatkan kembali sepeda, atau berbagai hal lainnya yang sangat dekat dengan kita.
Begitulah, sedikit cerita ketika di Bali. Sebenarnya banyak kisah yang ingin ku bagi dari perjalananan ini, namun rangkaian aksara tidak akan cukup untuk menjelaskan semua. Mungkin nanti ketika kita bertemu dalam temaram cahaya bulan dan bintang gemintang, setelah lampu dimatikan akan ku kisahkan kembali semua kepada mu.
Kapal terasa lambat sekali, Pulau Bali semakin jauh tertinggal. Angin masih bertiup lembut. Di luar sana laut tetap tenang hanya riak-riak kecil yang membuatnya sedikit bergejolak. Raja siang mulai siap berpulang. Daratan di depan semakin terlihat jelas. Klakson kapal memecah keheningan. Hiruk pikuk sesapu terdengar. Pulau Jawa hadir di depan. Tunggu aku di Jakarta pada Minggu ke empat bulan maret.
Gilimanuk-Ketapang, 2011 Selengkapnya...