Aspal jalanan belumlah kering dari sisa hujan tadi pagi. Sisi kiri dan kanan jalan dipadati dengan berbagai jenis kendaraan. Dilangit, awan nampaknya masih ingin menumpahkan semua air yang entah sejak kapan dikumpulkannya. Semua itu seakan mengiringi kepergian tim road trip Earth Hour 2011 menuju Bandung, Jawa Barat.
Bis berukuran tiga perempat yang kami naiki, perlahan merangkak memasuki jalan tol dalam kota. Tiada hal menyenangkan untuk dipandang mata, saat bis melaju dijalur yang katanya bebas hambatan itu. Hanya gedung-gedung, mobil pribadi, truk besar dan kecil, bis pariwisata, bis kota…gedung-gedung, mobil pribadi, truk besar dan kecil, bis pariwisata, bis kota…bis lagi, mobil pribadi lagi, gedung lagi…Jakarta pagi hari. Macet!
Pemandangan mulai terlihat berbeda saat memasuki tol cikampek, tepatnya di wilayah kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Dahulu disebelah kiri dan kanan jalan tol ini masih terlihat banyak sawah-sawah tadah hujan, bahkan diantara areal persawahan itu berdiri tegak bangunan-bangunan dengan atap yang sengaja dibuat rendah, hingga jika memasukinya tidak dari pintu masuk, kita harus menundukkan kepala. Bangunan yang kemudian dikenal sebagai pabrik batu bata merah tradisional, menjadi salah satu penyegar mata kala melaju di tol cikampek.
Terbersit dalam ingatan saat kepulan asap hitam berlomba-lomba keluar dari cerobong kecil pabrik tersebut. Terbang bebas bak sebuah tinta hitam yang mewarnai putihnya langit. Pemandangan itu yang kemudian menjadi hiburan bagi para pelintas jalan tol Cikampek. Tidak jarang, pabrik-pabrik bata itu menjadi hal yang sangat menarik bagi anak-anak kecil dan kemudian menanyakan kepada orang tuanya, mengapa ada rumah dengan genteng yang sangat pendek?
Namun, kini pemandangan sawah serta pabrik bata merah tradisional sudah tidak bisa dilihat, tiada lagi asap yang mengepul atau hamparan sawah luas. Sekarang hanya ada deret-deretan pabrik modern dengan cerobong-cerobong asap besar, yang selalu mengepul setiap harinya. Sesekali sepanjang jalan ini masih terlihat sawah-sawah tetapi luasnya sangat terbatas. Pun, ada sawah yang berdampingan dengan sebuah pabrik. Lucunya ada sawah yang diberi tanda bahwa tanah luas itu milik suatu perusahaan besar tertentu. Hati sedikit menerka-nerka, jangan-jangan sawah-sawah itu suatu saat akan berganti pabrik atau komplek bangunan mewah. Entahlah…dan jika semua sawah-sawah sudah berganti fungsi, apa nantinya pekerjaan para petani-petani itu, masih adakah stok beras untuk semua orang?
Dan kota kembang pun menyapa. Bis melaju dengan santai membelah jalan di tengah ramainya kendaraan bermotor lainnya…
Bandung, sebuah kota yang dahulu pernah menjadi lautan api bagi pasukan Belanda, seolah tersenyum menyambut kedatangan kami, Jum’at 25 Februari 2011. Kota yang dikenal dengan gadis-gadisnya yang berparas ayu, lokasi belanja, macet saat weekend, tempat berlibur, dingin, jalan Dago serta segudang hal lainnya, ternyata memiliki keunggulan lain yakni pabrik produksi teknologi pembangkit listrik tenaga air (PLTA)/mikrohidro.
Pabrik yang berdiri sejak tahun 1996 ini terletak dijalan Cihanjuang, Cimahi Utara, Cimahi, Jawa Barat telah memproduksi 5 tipe mesin mikrohidro dari daya listrik 50 watt hingga berdasarkan kebutuhan. Keunikan dari tempat ini ialah keberhasilannya dalam memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar lewat program pemberdayaan masyarakatnya.
Tempat pembuatan pembangkit listrik tenaga air (PLTMH) Cihanjuang, menunjukkan bahwa penggunaan energi air sebagai sumber listrik dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar. Hasil tersebut diperlihatkan pada film dokumenter yang dibuat oleh pabrik tersebut ketika tim road trip Earth Hour bertandang.
Keberadaan tempat produksi PLTMH ini memperlihatkan adanya hubungan harmonis antara masyarakat dengan pabrik melalui perekrutan pegawai yang berasal dari sekitar wilayah pabrik. Tercatat, saat ini pabrik tersebut mampu menyerap lebih dari 34 orang dan lebih dari 50 orang terlibat produksi yang dikerjakan di rumah masing-masing.
Penggunaan energi alternative yang ramah lingkungan seperti mikrohidro, tidak saja berkontribusi menyelamatkan lingkungan namun juga memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat pada wilayah yang belum terjangkau listrik. Dengan adanya listrik maka, akan mempermudah semua pekerjaan manusia. Bayangkan, jika sebuah desa yang tidak pernah mendapatkan pasokan listrik tapi memiliki potensi sumber daya alam melimpah, apakah tetap bisa mengolah hasil buminya secara efisien dan efektif, tanpa menggunakan listrik?
Memang untuk menerapkan teknologi mikrohidro gampang-gampang susah. Karena, dibutuhkan suatu uji kelayakan yang sangat mendalam jika ingin memanfaatkan energi listrik tenaga air. Mulai dari debit air hingga kepada kondisi sosial masyarakatnya. Hal tersebut dilakukan agar ketika pembangunan lokasi pembangkit, dapat berguna dan tahan lama. Tidak hanya itu, peran serta dari berbagai pihak juga sangat dibutuhkan dalam pengadaan mesin PLTMH bagi wilayah-wilayah yang terbelakang dengan kondisi penghasilan masyarakatnya yang sangat rendah, apalagi jika melihat tingkat perekonomian masyarakat yang tidak merata di Indonesia.
Kunjungan ke Cihanjuang, kembali mengingatkan kita bahwa listrik sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat, lucunya masih banyak dari kita yang boros dalam menggunakan listrik bahkan ada sebagian wilayah di Indonesia masih terjadi byar-pet serta belum teraliri listrik.. Dan hal yang semakin membuat kita ‘terpingkal-pingkal’ menyadari bahwa tanah nusantara ini memiliki sumber daya alam energi yang sangat melimpah ruah namun dinyatakan krisis energi.
Awan mendung pun kembali menggelayut manja di langit sana, semilir angin sejuk setia membelai rambut dan kulit kami. Kehangatan bandrek menemani senda gurau ketika mengakhiri kunjungan pada lokasi percontohan aplikasi PLTMH Cihanjuang yang letaknya tidak terlalu jauh dari pabrik itu. Perlahan, si raja siang mulai surut ke peraduannya, mengiringi langkah kaki-kaki kecil meninggalkan Cihanjuang.
Bandung, 2011
Bis berukuran tiga perempat yang kami naiki, perlahan merangkak memasuki jalan tol dalam kota. Tiada hal menyenangkan untuk dipandang mata, saat bis melaju dijalur yang katanya bebas hambatan itu. Hanya gedung-gedung, mobil pribadi, truk besar dan kecil, bis pariwisata, bis kota…gedung-gedung, mobil pribadi, truk besar dan kecil, bis pariwisata, bis kota…bis lagi, mobil pribadi lagi, gedung lagi…Jakarta pagi hari. Macet!
Pemandangan mulai terlihat berbeda saat memasuki tol cikampek, tepatnya di wilayah kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Dahulu disebelah kiri dan kanan jalan tol ini masih terlihat banyak sawah-sawah tadah hujan, bahkan diantara areal persawahan itu berdiri tegak bangunan-bangunan dengan atap yang sengaja dibuat rendah, hingga jika memasukinya tidak dari pintu masuk, kita harus menundukkan kepala. Bangunan yang kemudian dikenal sebagai pabrik batu bata merah tradisional, menjadi salah satu penyegar mata kala melaju di tol cikampek.
Terbersit dalam ingatan saat kepulan asap hitam berlomba-lomba keluar dari cerobong kecil pabrik tersebut. Terbang bebas bak sebuah tinta hitam yang mewarnai putihnya langit. Pemandangan itu yang kemudian menjadi hiburan bagi para pelintas jalan tol Cikampek. Tidak jarang, pabrik-pabrik bata itu menjadi hal yang sangat menarik bagi anak-anak kecil dan kemudian menanyakan kepada orang tuanya, mengapa ada rumah dengan genteng yang sangat pendek?
Namun, kini pemandangan sawah serta pabrik bata merah tradisional sudah tidak bisa dilihat, tiada lagi asap yang mengepul atau hamparan sawah luas. Sekarang hanya ada deret-deretan pabrik modern dengan cerobong-cerobong asap besar, yang selalu mengepul setiap harinya. Sesekali sepanjang jalan ini masih terlihat sawah-sawah tetapi luasnya sangat terbatas. Pun, ada sawah yang berdampingan dengan sebuah pabrik. Lucunya ada sawah yang diberi tanda bahwa tanah luas itu milik suatu perusahaan besar tertentu. Hati sedikit menerka-nerka, jangan-jangan sawah-sawah itu suatu saat akan berganti pabrik atau komplek bangunan mewah. Entahlah…dan jika semua sawah-sawah sudah berganti fungsi, apa nantinya pekerjaan para petani-petani itu, masih adakah stok beras untuk semua orang?
Dan kota kembang pun menyapa. Bis melaju dengan santai membelah jalan di tengah ramainya kendaraan bermotor lainnya…
Bandung, sebuah kota yang dahulu pernah menjadi lautan api bagi pasukan Belanda, seolah tersenyum menyambut kedatangan kami, Jum’at 25 Februari 2011. Kota yang dikenal dengan gadis-gadisnya yang berparas ayu, lokasi belanja, macet saat weekend, tempat berlibur, dingin, jalan Dago serta segudang hal lainnya, ternyata memiliki keunggulan lain yakni pabrik produksi teknologi pembangkit listrik tenaga air (PLTA)/mikrohidro.
Pabrik yang berdiri sejak tahun 1996 ini terletak dijalan Cihanjuang, Cimahi Utara, Cimahi, Jawa Barat telah memproduksi 5 tipe mesin mikrohidro dari daya listrik 50 watt hingga berdasarkan kebutuhan. Keunikan dari tempat ini ialah keberhasilannya dalam memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar lewat program pemberdayaan masyarakatnya.
Tempat pembuatan pembangkit listrik tenaga air (PLTMH) Cihanjuang, menunjukkan bahwa penggunaan energi air sebagai sumber listrik dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar. Hasil tersebut diperlihatkan pada film dokumenter yang dibuat oleh pabrik tersebut ketika tim road trip Earth Hour bertandang.
Keberadaan tempat produksi PLTMH ini memperlihatkan adanya hubungan harmonis antara masyarakat dengan pabrik melalui perekrutan pegawai yang berasal dari sekitar wilayah pabrik. Tercatat, saat ini pabrik tersebut mampu menyerap lebih dari 34 orang dan lebih dari 50 orang terlibat produksi yang dikerjakan di rumah masing-masing.
Penggunaan energi alternative yang ramah lingkungan seperti mikrohidro, tidak saja berkontribusi menyelamatkan lingkungan namun juga memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat pada wilayah yang belum terjangkau listrik. Dengan adanya listrik maka, akan mempermudah semua pekerjaan manusia. Bayangkan, jika sebuah desa yang tidak pernah mendapatkan pasokan listrik tapi memiliki potensi sumber daya alam melimpah, apakah tetap bisa mengolah hasil buminya secara efisien dan efektif, tanpa menggunakan listrik?
Memang untuk menerapkan teknologi mikrohidro gampang-gampang susah. Karena, dibutuhkan suatu uji kelayakan yang sangat mendalam jika ingin memanfaatkan energi listrik tenaga air. Mulai dari debit air hingga kepada kondisi sosial masyarakatnya. Hal tersebut dilakukan agar ketika pembangunan lokasi pembangkit, dapat berguna dan tahan lama. Tidak hanya itu, peran serta dari berbagai pihak juga sangat dibutuhkan dalam pengadaan mesin PLTMH bagi wilayah-wilayah yang terbelakang dengan kondisi penghasilan masyarakatnya yang sangat rendah, apalagi jika melihat tingkat perekonomian masyarakat yang tidak merata di Indonesia.
Kunjungan ke Cihanjuang, kembali mengingatkan kita bahwa listrik sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat, lucunya masih banyak dari kita yang boros dalam menggunakan listrik bahkan ada sebagian wilayah di Indonesia masih terjadi byar-pet serta belum teraliri listrik.. Dan hal yang semakin membuat kita ‘terpingkal-pingkal’ menyadari bahwa tanah nusantara ini memiliki sumber daya alam energi yang sangat melimpah ruah namun dinyatakan krisis energi.
Awan mendung pun kembali menggelayut manja di langit sana, semilir angin sejuk setia membelai rambut dan kulit kami. Kehangatan bandrek menemani senda gurau ketika mengakhiri kunjungan pada lokasi percontohan aplikasi PLTMH Cihanjuang yang letaknya tidak terlalu jauh dari pabrik itu. Perlahan, si raja siang mulai surut ke peraduannya, mengiringi langkah kaki-kaki kecil meninggalkan Cihanjuang.
Bandung, 2011
0 komentar:
Posting Komentar