27 Februari 2011. Bau anyir khas pesisir perlahan mulai tercium, jalan setapak berpasir kehitaman terbentang dihadapan tim road trip Earth Hour 2011. Di sisi kanan dan kiri jalan, terhampar petak-petak tambak ikan bandeng milik masyarakat. Siang itu di Desa Tapak, Tugurejo, Semarang, segenap alamnya seakan mengawasi kedatangan kami yang akan menuju lokasi penanaman mangrove.
Dan tibalah kami dipenghujung jalan. Tiga buah perahu motor dengan panjang 4 meter dan lebar 1,5 meter sudah menunggu sejak tadi. Setiap perahu dapat mengangkut tidak lebih dari 7 orang dengan komposisi 5 orang penumpang, 1 orang kemudi perahu, sisanya bertugas menjadi pemandu.
Perahu pun mulai bergerak perlahan memasuki rindang pohon bakau menuju mulut sungai tapak. Deru mesin bertenaga 6,5 pk itu memecah keheningan kawasan mangrove, sehingga membuat wideng (kepiting) yang sedang asyik termenung lari pontang-panting saat perahu melintas didepannya.
Sepanjang sungai yang airnya hitam dan sarat bau endapan lumpur itu juga dipenuhi sampah plastik. Bahkan perahu kami beberapa kali harus mematikan mesin karena baling-baling tersangkut benda tersebut. Tidak hanya sampah saja yang mencemari sungai ini, warga setempat memberitahukan bahwa limbah cair dari perusahaan yang terletak di belakang desa turut andil mengotori sungai dan sudah terjadi sejak lama.
Tidak kurang 30 menit mulut sungai mulai terlihat. Lautan menyambut, hembusan angin serta gelombang membelai tubuh yang terasa lengket oleh keringat. Dengan hati-hati si pengemudi mengendalikan kapal ukuran kecil itu dari riuh rendah gelombang.
Kawasan mangrove semakin terlihat jelas di pingir-pinggir pesisir menjadi benteng pertahanan terakhir bagi wilayah desa.
Mengapa menanam mangrove?
Wilayah desa Tapak, Tugurejo, sebenarnya sudah sejak lama memiliki banyak pohon mangrove. Tetapi akibat adanya mitos (namun tidak terbukti) bahwa jika tumbang, racun yang tersimpan dalam akar tanaman ini akan terlepas dan membunuh ikan dalam tambak, maka masyarakat setempat membabatnya.
Namun, sejak adanya abrasi laut besar-besaran sekitar tahun 2000-2001 masyarakat mulai menyadari betapa besar manfaat mangrove bagi wilayah pesisir dan mulai menanamnya kembali. Disini terdapat 5 jenis tanaman mangrove yang dibudidayakan yakni jenis rhizophora macronata, rhizophora apiculata, rhizophora stylosa, avicenia marina, serta burguera.
Abrasi yang melanda wilayah pesisir desa Tapak, telah menghilangkan 8 petak tambak ikan bandeng seluas 1-2 hektar. Tidak hanya itu, abrasi juga menggeser garis pantai sejauh 700 meter kearah daratan serta telah menghilangkan pulau Tirang, sebuah pulau kecil yang dahulu juga menjadi tempat mangrove berkembang, dahulu masyarakat setempat menggunakan nama pulau tirang sebagai alamat untuk desa tapak: Jalan pulau Tirang, setelah tenggelam alamat pun berganti menjadi Jalan Tapak Tugurejo.
Selain hilangnya pulau Tirang, abrasi air laut juga turut menenggelamkan lokasi tambak udang yang dapat dilihat secara jelas melalui sisa-sisa pondasi wc yang hancur akibat naiknya muka air laut. Dampak lain dari abrasi menyebabkan menurunnya hasil panen tambak. Jauh sebelum terjadinya bencana tersebut, tambak ikan bandeng dapat menghasilkan 8 ton setiap kali panen, tapi setelah air laut naik tambak hanya menghasilkan 5-6 ton ikan bandeng tiap panennya.
Abrasi yang terjadi di wilayah pesisir desa Tapak, selain semakin naiknya muka air laut (dampak dari perubahan iklim), juga diperparah akibat adanya reklamasi pantai yang dilakukan oleh beberapa perusahaan. Pakar lingkungan hidup dari Universitas Diponegoro Semarang, Prof Dr Sudharto P Hadi, menjelaskan bahwa Lahan reklamasi membuat arah arus laut berubah sehingga akhirnya memicu kerusakan lingkungan di lokasi lainnya (kompas.com).
Abrasi juga melanda 60 persen dari 21,6 kilometer panjang pantai di perairan Kota Semarang, merupakan wilayah Kecamatan Tugu dan 70 persen di antaranya terkena abrasi (www.antarajateng.com).
Guna mencegah abrasi yang semakin besar tidak cukup hanya dengan menanam mangrove sebanyak-banyaknya, masyarakat juga membangun Alat Pemecah Ombak (APO) yang terbuat dari ban-ban mobil bekas yang di tumpuk kemudian diisi dengan semen. Hal ini dilakukan karena semakin besarnya pengikisan tanah oleh air yang dapat dengan cepat menghilangkan daratan.
Abrasi air laut, perubahan iklim, reklamasi serta pencemaran limbah menjadi ancaman utama bagi masyarakat yang menghuni wilayah pesisir Semarang. Setidaknya Mangrove dan APO telah sedikit memberikan harapan bagi masyarakat daerah pesisir Tugu, dimana pengikisan tanah oleh air terus terjadi secara perlahan namun pasti.
Mata-mata termenung menatap kosong laut lepas. Awan kembali mendung bersiap memuntahkan isi perutnya. Ikan-ikan belana berlompatan diantara perahu yang terlihat lelah melawan kencangnya arus laut ketika mengantar kami pulang. Dalam perjalanan kembali ke awal, kepala menunduk termenung, hati mencoba berdamai melihat realita yang entah dibuat oleh siapa hingga masyarakat menerima getah yang sangat lengket ini.
Desa Tapak, Semarang 2011
Dan tibalah kami dipenghujung jalan. Tiga buah perahu motor dengan panjang 4 meter dan lebar 1,5 meter sudah menunggu sejak tadi. Setiap perahu dapat mengangkut tidak lebih dari 7 orang dengan komposisi 5 orang penumpang, 1 orang kemudi perahu, sisanya bertugas menjadi pemandu.
Perahu pun mulai bergerak perlahan memasuki rindang pohon bakau menuju mulut sungai tapak. Deru mesin bertenaga 6,5 pk itu memecah keheningan kawasan mangrove, sehingga membuat wideng (kepiting) yang sedang asyik termenung lari pontang-panting saat perahu melintas didepannya.
Sepanjang sungai yang airnya hitam dan sarat bau endapan lumpur itu juga dipenuhi sampah plastik. Bahkan perahu kami beberapa kali harus mematikan mesin karena baling-baling tersangkut benda tersebut. Tidak hanya sampah saja yang mencemari sungai ini, warga setempat memberitahukan bahwa limbah cair dari perusahaan yang terletak di belakang desa turut andil mengotori sungai dan sudah terjadi sejak lama.
Tidak kurang 30 menit mulut sungai mulai terlihat. Lautan menyambut, hembusan angin serta gelombang membelai tubuh yang terasa lengket oleh keringat. Dengan hati-hati si pengemudi mengendalikan kapal ukuran kecil itu dari riuh rendah gelombang.
Kawasan mangrove semakin terlihat jelas di pingir-pinggir pesisir menjadi benteng pertahanan terakhir bagi wilayah desa.
Mengapa menanam mangrove?
Wilayah desa Tapak, Tugurejo, sebenarnya sudah sejak lama memiliki banyak pohon mangrove. Tetapi akibat adanya mitos (namun tidak terbukti) bahwa jika tumbang, racun yang tersimpan dalam akar tanaman ini akan terlepas dan membunuh ikan dalam tambak, maka masyarakat setempat membabatnya.
Namun, sejak adanya abrasi laut besar-besaran sekitar tahun 2000-2001 masyarakat mulai menyadari betapa besar manfaat mangrove bagi wilayah pesisir dan mulai menanamnya kembali. Disini terdapat 5 jenis tanaman mangrove yang dibudidayakan yakni jenis rhizophora macronata, rhizophora apiculata, rhizophora stylosa, avicenia marina, serta burguera.
Abrasi yang melanda wilayah pesisir desa Tapak, telah menghilangkan 8 petak tambak ikan bandeng seluas 1-2 hektar. Tidak hanya itu, abrasi juga menggeser garis pantai sejauh 700 meter kearah daratan serta telah menghilangkan pulau Tirang, sebuah pulau kecil yang dahulu juga menjadi tempat mangrove berkembang, dahulu masyarakat setempat menggunakan nama pulau tirang sebagai alamat untuk desa tapak: Jalan pulau Tirang, setelah tenggelam alamat pun berganti menjadi Jalan Tapak Tugurejo.
Selain hilangnya pulau Tirang, abrasi air laut juga turut menenggelamkan lokasi tambak udang yang dapat dilihat secara jelas melalui sisa-sisa pondasi wc yang hancur akibat naiknya muka air laut. Dampak lain dari abrasi menyebabkan menurunnya hasil panen tambak. Jauh sebelum terjadinya bencana tersebut, tambak ikan bandeng dapat menghasilkan 8 ton setiap kali panen, tapi setelah air laut naik tambak hanya menghasilkan 5-6 ton ikan bandeng tiap panennya.
Abrasi yang terjadi di wilayah pesisir desa Tapak, selain semakin naiknya muka air laut (dampak dari perubahan iklim), juga diperparah akibat adanya reklamasi pantai yang dilakukan oleh beberapa perusahaan. Pakar lingkungan hidup dari Universitas Diponegoro Semarang, Prof Dr Sudharto P Hadi, menjelaskan bahwa Lahan reklamasi membuat arah arus laut berubah sehingga akhirnya memicu kerusakan lingkungan di lokasi lainnya (kompas.com).
Abrasi juga melanda 60 persen dari 21,6 kilometer panjang pantai di perairan Kota Semarang, merupakan wilayah Kecamatan Tugu dan 70 persen di antaranya terkena abrasi (www.antarajateng.com).
Guna mencegah abrasi yang semakin besar tidak cukup hanya dengan menanam mangrove sebanyak-banyaknya, masyarakat juga membangun Alat Pemecah Ombak (APO) yang terbuat dari ban-ban mobil bekas yang di tumpuk kemudian diisi dengan semen. Hal ini dilakukan karena semakin besarnya pengikisan tanah oleh air yang dapat dengan cepat menghilangkan daratan.
Abrasi air laut, perubahan iklim, reklamasi serta pencemaran limbah menjadi ancaman utama bagi masyarakat yang menghuni wilayah pesisir Semarang. Setidaknya Mangrove dan APO telah sedikit memberikan harapan bagi masyarakat daerah pesisir Tugu, dimana pengikisan tanah oleh air terus terjadi secara perlahan namun pasti.
Mata-mata termenung menatap kosong laut lepas. Awan kembali mendung bersiap memuntahkan isi perutnya. Ikan-ikan belana berlompatan diantara perahu yang terlihat lelah melawan kencangnya arus laut ketika mengantar kami pulang. Dalam perjalanan kembali ke awal, kepala menunduk termenung, hati mencoba berdamai melihat realita yang entah dibuat oleh siapa hingga masyarakat menerima getah yang sangat lengket ini.
Desa Tapak, Semarang 2011
1 komentar:
cara membuat blog
Posting Komentar