Pemilihan umum (pemilu) adalah pesta rakyat yang selama ini selalu di tunggu dan dibanggakan oleh para penyelenggara negeri ini. Demokrasi! Itu kata mereka yang mengambil keuntungan dari kalimat tersebut. Dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Benar bahwasanya pemerintah berasal dari itu semua dan artinya penggerak negeri ini pun sudah seharusnya mengabdikan dirinya tanpa mengharapkan sesuatu dari pekerjaannya, tulus. Sudah sepantasnya-lah mereka membela kepentingan dan berpihak kepada masyarakat. Pun, seharusnya mereka menjalankan tanggung jawabnya: menyalurkan semua bentuk aspirasi orang-orang (baca: rakyat) yang telah memilih mereka. Hmmmm…rupanya hal-hal itu adalah bentuk ideal dari sistem di negeri ini, dan sebuah harapan yang mungkin butuh usaha keras untuk mewujudkannya tidak hanya dilakukan oleh segelintir orang tapi juga oleh seluruh warga negara di negeri ini.
Bosan dan muak itu lah yang sekarang terasa di dada. Bagaimana tidak, mendekati pemilu begitu banyak orang-orang baru dan lama berbondong-bondong turun ke sawah, desa, laut, perumahan kumuh, membagi-bagikan sembako dan berbagai hal lainnya. Semua itu dilakukan hanya untuk mencari dan mendapatkan simpati, cinta dan image baik di mata rakyat agar nanti menjadi juara pada pemilihan tahun ini. Parahnya yang dilakukan oleh para pencari pekerjaan tersebut (baca: para caleg, capres, dan parpol) dalam mempromosikan visi-misinya sekarang menaruh iklannya di media massa. Lihat televisi dan koran betapa senangnya mereka menjejali kepala kita dengan janji-janji yang belum tentu terwujud setelah mereka menduduki tampuk kekuasaan.
Cih, betapa mirisnya kondisi di tanah ini, rakyat selalu di bodohi dan di bohongi. Pembodohan massal itu yang terjadi sekarang. Rakyat selalu di buat berharap dan percaya dengan janji-janji manis lewat iklan yang selalu hadir dimanapun kita berada tanpa ampun, hingga lupa untuk bertanya-tanya latar belakang dari para peserta pemilu, dari mana dukungan dana kampanye mereka, bagaimana riwayat hidup serta pekerjaannya sebelumnya. Adakah wacana itu kini semakin berkembang di masyarakat? Tentu saja ada namun, itu hanya berkembang di tingkatan para intelektual, pengamat politisi, atau mungkin komisi pemilihan umum (KPU) tapi di tataran akar rumput adakah itu semua berkembang?. Bahkan saya pernah iseng bertanya kepada tukang becak mengenai hal-hal itu dan si tukang becak hanya menjawab : “Kalo saya mas yang penting dapur bisa terus ngepul. Kalo soal politik-politikan bukan urusan saya, itu udah ada yang ngurusin, kalo nyoblos ya tinggal nyoblos”. Cukup mengejutkan memang mendengar jawaban seperti itu dan mulai berfikir apakah semua masyarakat sebagian besar sekarang ini mempunyai fikiran seperti si tukang becak itu atau mungkin lebih parahnya mereka tidak mau dibilang mempunyai pola fikir seperti si tukang becak tersebut dan hanya berkomentar tanpa pernah mau melakukan tindakan yang sederhana namun cukup nyata: bertukar pikiran dengan mereka yang memang buta mengenai persoalan di negara ini, misalnya.
Kampanye yang dilakukan oleh para peserta pemilu tidak hanya memberikan janji-janji manis kepada rakyat tetapi juga sudah merusak keindahan pandangan mata, lihat saja seluruh sudut daerah dari desa sampai kota, dari laut hingga sawah semua penuh dengan poster, pamflet, dan baliho besar terpasang. Di pinggir-pinggir jalan, jembatan, tembok-tembok rumah bahkan pohon-pohon yang bertebaran di jalan menjadi sasaran untuk mempromosikan visi dan misi mereka. Dan yang membuat semakin ingin muntah ketika berita-berita yang disajikan semua tentang perkembangan pemilu yang menitik beratkan pada kampanye-nya saja sedangkan porsi untuk berita-berita lain mengenai kasus korupsi, kemiskinan, kerusakan lingkungan dan lain sebagainya menjadi berkurang. Pun akhirnya apa yang bisa kita lakukan adalah mengelus dada melihat dagelan yang di suguhkan dengan manis itu. Gegap gempita, pesta poria rakyat Indonesia yang disebut-sebut sebagai bentuk terwujudnya demokrasi itu sebentar lagi, semua orang disarankan agar memilih dan katanya suara kita menentukan nasib bangsa. Benar adanya kita yang menentukan nasib bangsa, namun bagaimana jika suara kita mengarahkan bangsa ini kepada kondisi yang tidak berubah, mengalami stagnansi akut, memapankan status quo, atau bahkan lebih parah suara kita memenangkan orang-orang yang tidak memiliki tanggung jawab kepada tugasnya alias memberikan amanat rakyat kepada mereka yang memandang posisi di gedung wakil rakyat sebagai lahan pekerjaan. Jadi, suara kita menentukan nasib bangsa?
Bosan dan muak itu lah yang sekarang terasa di dada. Bagaimana tidak, mendekati pemilu begitu banyak orang-orang baru dan lama berbondong-bondong turun ke sawah, desa, laut, perumahan kumuh, membagi-bagikan sembako dan berbagai hal lainnya. Semua itu dilakukan hanya untuk mencari dan mendapatkan simpati, cinta dan image baik di mata rakyat agar nanti menjadi juara pada pemilihan tahun ini. Parahnya yang dilakukan oleh para pencari pekerjaan tersebut (baca: para caleg, capres, dan parpol) dalam mempromosikan visi-misinya sekarang menaruh iklannya di media massa. Lihat televisi dan koran betapa senangnya mereka menjejali kepala kita dengan janji-janji yang belum tentu terwujud setelah mereka menduduki tampuk kekuasaan.
Cih, betapa mirisnya kondisi di tanah ini, rakyat selalu di bodohi dan di bohongi. Pembodohan massal itu yang terjadi sekarang. Rakyat selalu di buat berharap dan percaya dengan janji-janji manis lewat iklan yang selalu hadir dimanapun kita berada tanpa ampun, hingga lupa untuk bertanya-tanya latar belakang dari para peserta pemilu, dari mana dukungan dana kampanye mereka, bagaimana riwayat hidup serta pekerjaannya sebelumnya. Adakah wacana itu kini semakin berkembang di masyarakat? Tentu saja ada namun, itu hanya berkembang di tingkatan para intelektual, pengamat politisi, atau mungkin komisi pemilihan umum (KPU) tapi di tataran akar rumput adakah itu semua berkembang?. Bahkan saya pernah iseng bertanya kepada tukang becak mengenai hal-hal itu dan si tukang becak hanya menjawab : “Kalo saya mas yang penting dapur bisa terus ngepul. Kalo soal politik-politikan bukan urusan saya, itu udah ada yang ngurusin, kalo nyoblos ya tinggal nyoblos”. Cukup mengejutkan memang mendengar jawaban seperti itu dan mulai berfikir apakah semua masyarakat sebagian besar sekarang ini mempunyai fikiran seperti si tukang becak itu atau mungkin lebih parahnya mereka tidak mau dibilang mempunyai pola fikir seperti si tukang becak tersebut dan hanya berkomentar tanpa pernah mau melakukan tindakan yang sederhana namun cukup nyata: bertukar pikiran dengan mereka yang memang buta mengenai persoalan di negara ini, misalnya.
Kampanye yang dilakukan oleh para peserta pemilu tidak hanya memberikan janji-janji manis kepada rakyat tetapi juga sudah merusak keindahan pandangan mata, lihat saja seluruh sudut daerah dari desa sampai kota, dari laut hingga sawah semua penuh dengan poster, pamflet, dan baliho besar terpasang. Di pinggir-pinggir jalan, jembatan, tembok-tembok rumah bahkan pohon-pohon yang bertebaran di jalan menjadi sasaran untuk mempromosikan visi dan misi mereka. Dan yang membuat semakin ingin muntah ketika berita-berita yang disajikan semua tentang perkembangan pemilu yang menitik beratkan pada kampanye-nya saja sedangkan porsi untuk berita-berita lain mengenai kasus korupsi, kemiskinan, kerusakan lingkungan dan lain sebagainya menjadi berkurang. Pun akhirnya apa yang bisa kita lakukan adalah mengelus dada melihat dagelan yang di suguhkan dengan manis itu. Gegap gempita, pesta poria rakyat Indonesia yang disebut-sebut sebagai bentuk terwujudnya demokrasi itu sebentar lagi, semua orang disarankan agar memilih dan katanya suara kita menentukan nasib bangsa. Benar adanya kita yang menentukan nasib bangsa, namun bagaimana jika suara kita mengarahkan bangsa ini kepada kondisi yang tidak berubah, mengalami stagnansi akut, memapankan status quo, atau bahkan lebih parah suara kita memenangkan orang-orang yang tidak memiliki tanggung jawab kepada tugasnya alias memberikan amanat rakyat kepada mereka yang memandang posisi di gedung wakil rakyat sebagai lahan pekerjaan. Jadi, suara kita menentukan nasib bangsa?
0 komentar:
Posting Komentar