Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumber daya energi. Minyak bumi, gas alam, serta batu bara terpendam jauh dibawah tanah nusantara ini. Selain itu Indonesia juga adalah salah satu negara pengekspor batu bara terbesar di dunia. Hal itu berdasarkan hasil riset tahun 2007 dari lembaga riset agrikultur dan sumber daya ekonomi, ABARE, Australia. Laporan tersebut mengatakan bahwa pada periode tahun 2005-2006 perihal perdagangan batu bara dunia menempatkan Indonesia pada posisi sebagai pemasok batu bara terbesar yakni sekitar 25%. Sedangkan menurut pengamat ekonomi, Sony Sugema mengatakan bahwa produksi minyak bumi Indonesia mencapai 927 barel per hari dan produksi gas alam mencapai 700 barel per hari. Dengan angka dari jumlah produksi kedua sumber energi tersebut total produksi nya adalah 4,2 juta barel per hari dengan tingkat konsumsi masyrakat sebesar 1,2 juta barel per hari. Sungguh layak nya sebuah negeri yang makmur dimana tingkat kesejahteraan masyarakatnya sangat tinggi dan jauh dari kesan miskin.
Namun, semua kekayaan yang dimiliki oleh bangsa ini tidak semuanya dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya, terlebih dalam masalah penyediaan energi (listrik dan gas). Belum sempat hilang dari ingatan, ketika pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), lalu adanya konversi minyak tanah menjadi gas yang kemudian disusul dengan ditariknya subsidi gas ukuran 12 Kg, hingga menyebabkan seluruh masyarakat miskin di Indonesia menanggung beban penderitaan akibat langka dan mahalnya minyak tanah. Kini, masyarakat pun harus menanggung masalah krisis energi yang ditandai dengan himbauan pemerintah kepada masyarakat dan industri untuk melakukan penghematan energi. Pemadaman bergilir di sejumlah daerah pun tidak dapat dihindari. Sungguh aneh krisis energi yang terjadi di Indonesia. Dengan sumber daya alam yang begitu banyak seharusnya masalah energi dapat diminimalisir dan kelangkaan listrik pun dapat di atasi. Solusi yang dikeluarkan melalui keputusan bersama tentang pembatasan jam kerja bagi industri – senin-jumat merupakan tingkat penggunaan listrik optimal, dirubah menjadi hari sabtu dan minggu – diberlakukan. Keputusan yang dilakukan oleh lima menteri mengenai penghematan energi tidak menunjukkan hasil yang cukup signifikan dan malah menimbulkan permasalahan baru di bidang tenaga kerja. Pemadaman listrik secara bergilir dan tidak terjadwal secara langsung dapat mengurangi tingkat produksi suatu industri terutama industri tekstil, hal ini tentu saja menimbulkan pengurangan sejumlah karyawan akibat kurangnya tingkat produksi, seperti yang terjadi terhadap ratusan pekerja pabrik tekstil di pekalongan terancam pemutusan hubungan kerja (PHK), bahkan para investor dari jepang yang telah berinvestasi leih dari 40 miliar Dollar AS mengancam akan meninggalkan Indonesia jika permasalahan pemadaman listrik tidak kunjung selesai, tak ayal tingkat perekonomian pun akan mengalami penurunan.
Berangkat dari dua contoh kecil diatas, akibat terjadinya pemadaman bergilir, kita dapat melihat bahwa krisis yang terjadi sekarang ini sangat-lah janggal dan tidak masuk akal. Sebagai negara pengekspor batu bara terbesar di dunia, seharusnya negeri ini dapat mencukupi kebutuhan energi bagi masyarakatnya. Salah satu sebab terjadinya krisi energi di negeri ini adalah adanya beberapa individu atau kelompok yang mementingkan saku celananya sendiri dan hal ini tidak tersentuh oleh pemerintah, bahkan pemerintah sendiri cenderung memapankan keberadaan mereka dengan dalih kepentingan pertumbuhan ekonomi nasional. Undang-undang (UU) No. 22/2001 mengenai minyak dan gas bumi hanya berpihak kepada para pemilik modal, tidak pada rakyat. Dalam undang-undang tersebut mengatakan bahwa : (1) Pemerintah membuka peluang pengelolaan Migas karena BUMN Migas Nasional diprivatisasi; (2) Pemerintah memberikan kewenangan kepada perusahaan asing maupun domestik untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak; (3) Perusahaan asing dan domestik dibiarkan menetapkan harga sendiri. Aneh, mungkin sepintas kata itu yang terucap kala melihat isi UU tersebut. Sangat tersirat makna bahwa Indonesia tidak dapat melakukan proses produksi sumber daya alam nya sendiri, dengan memberikan hak untuk melakukan ekplorasi dan eksploitasi, melenggangkan jalan bagi para pemilik modal untuk menguras habis dan menarik keuntungan yang sebesar-besarnya dari tanah yang sekarang kita injak ini, tentunya dengan memberikan sedikit hasil keuntungan tersebut kepada Indonesia. Selain itu hak untuk dapat menetapkan harga sendiri menyebabkan mereka (baca:pemilik modal) tentunya akan melihat potensi penjualan dipasaran dunia yang tentunya lebih menghasilkan ketimbang harus menjual dipasar dalam negeri., dan ketika semua sumber daya mineral tersebut dijual pada pasar internasional maka kebutuhan pasar dalam negeri pun akan mengalami kekurangan stok. Sedangkan UU mengenai batu bara hanya berupa keputusan menteri, perpres , dan inpres hal ini tentu saja belum cukup kuat untuk melindungi sumber daya batu bara kita dari tangan-tangan para pemilik modal. Ironisnya, disaat negeri ini membutuhkan stok batu bara, pemerintah justeru menyerahkan harga batu bara kepada pasar yang nota bene nilai jual batu bara di pasaran dunia cukup mahal ketimbang nilai jual dalam negeri. Data Merill Lynch (Indonesian Coal & Power Journal) menyebutkan bahwa pada tahun 2007 total produksi batu bara di Indonesia mencapai 198 juta ton dan yang diekspor mencapai 160 juta ton, atau 25 persen dari total ekspor dunia. Berarti hanya sekitar 20 persen produksi batu bara yang dijual untuk kebutuhan dalam negeri.
Jadi, benarkah krisis energi yang sekarang melanda Indonesia benar-benar terjadi akibat tipisnya sumber daya alam, atau hanya isapan jempol belaka untuk menutupi tingkah laku negara yang berpihak kepada pemilik modal yang mungkin telah berselingkuh mesra dengan para penggerak pemerintahan negeri ini? Sungguh malang nasib masyarakat di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini. Kembali rakyat hanya dicintai ketika pemilu dan pilkada tiba. Selanjutnya, rakyat jua-lah yang harus tertimpa kesengsaraan atas perbuatan yang tidak mereka lakukan. Dimanakah negara saat rakyat membutuhkan perlindungan dari segala bentuk kesewenangan? Mungkinkah peran negara semakin terkikis oleh kuatnya arus kapitalisme dunia? atau mungkin kapitalisme adalah negara? atau mungkinkah sudah selayaknya konsep negara (Indonesia) harus ditinjau kembali? Mungkinkah…?
Bekasi, 2008
0 komentar:
Posting Komentar