Selasa, 27 Januari 2009

Melihat Dari Sisi Lain

“Cinta…?, Tahik kucing!”. Ucap seorang teman, yang tampaknya sangat alergi dengan hal abstrak itu. Mungkin teman ku salah satu dari sekian banyak orang yang enggan berdekatan dengan si setan merah jambu (baca: cinta). Entah apa sebabnya, seseorang ingin menghindari hal itu, hingga harus membenci. Parahnya ada yang sampai takut mengalami jatuh cinta.

Lalu apa cinta itu? Suatu perasaan suka manusia terhadap benda-benda? Atau penyatuan sang pencipta dengan ciptaannya? Atau mungkin, cinta adalah akumulasi perasaan yang muncul tanpa sebab? Banyak dari kita masih mengira-ngira arti cinta, bahkan para penyair dan pakar mencoba memberikan definisinya mengenai cinta, namun belum ada jawaban yang memuaskan.

Kemudian pantas kah kita membenci cinta? Tentu jawabannya adalah tidak. Karena cinta adalah hal murni yang memiliki dimensinya tersendiri dalam jiwa manusia. Ia tidak dapat dipisahkan dan terpendam jauh dalam lubuk hati. Ia akan selalu hidup dan muncul ke permukaan jika sesuatu ada yang menyulutnya. Cinta-lah yang membuat kita dapat merasakan sakit, senang, benar, salah, bimbang, sayang, peduli terhadap orang lain dan berjuta perasaan lainnya yang dapat menjadikan kita sebagai manusia seutuhnya. Apa artinya kehidupan ini bila kita menganggap cinta hanya membawa segudang permasalahan hingga harus membencinya. Semua pasti akan terasa datar dan tanpa arti. Sejuta keajaiban yang terjadi dan sudah seharusnya dapat kita rasakan akan terlewati begitu saja. Sia-sialah semuanya tanpa adanya si setan merah jambu. Persoalan seseorang yang benci akan cinta hanya-lah persoalan emosi yang terakumulasi akibat perbuatan kurang menyenangkan dari orang lain, lingkungan atau faktor lainnya terhadap diri kita. Nah, dari hal itulah memunculkan rasa marah dan lupa untuk menoleh kembali ke belakang atas semua permasalahan. Hematnya, dengan begitu muncul keinginan untuk menjaga jarak dari si setan merah jambu.

“Teman”, perasaan suka (cinta) timbul tanpa pernah diminta, ia datang dengan sendirinya, memberikan sedikit perbedaan dalam hidup. Betapa pun kita berusaha untuk tetap menjaga jarak dengan cinta, itu tidak akan berguna sama sekali. Karena ia terletak tepat di dalam jiwa manusia.

Kebencian kita terhadap cinta setidaknya perlu dikritisi secara seksama. Apakah kita benar-benar benci terhadap si-cinta-nya atau benci terhadap seseorang yang mengaku cinta terhadap kita? Banyak orang terjebak dengan hal itu. Semisal kita menjalin hubungan dengan lawan jenis, kemudian orang yang kita sayangi itu mengecewakan kita dengan tindakannya dan mau tidak mau hubungan tersebut kandas. Atau bila masalah yang datang bukan dari orang yang kita sayangi. Keluarga misalnya, yang tidak suka dengan hubungan kita dan terpaksa akhirnya harus mengakhiri hubungan itu. Lalu dimana letak kesalahan si-cinta. Apakah mungkin ia menjadi sebab semua hal tersebut?, hingga harus menyalahkan sekaligus membencinya. Satu hal yang terpikirkan kenapa banyak orang harus membenci cinta dan itu tidak pernah kita sadari sedikit pun. Kebencian, keengganan, atau apapun bahasanya terhadap cinta muncul karena kepicikan pikiran kita sendiri yang tak ingin menoleh ke belakang, melihat semua fakta yang terjadi dalam setiap kejadian hubungan percintaan. Adanya marah terhadap si-cinta entah itu kita dikhianati, tidak disetujui orang tua, teman, atau yang lainnya, merupakan bentuk dari adanya intervensi perasan terhadap pikiran. Kemudian secara perlahan pengaruh tersebut mengendap bercampur dan pada akhirnya menyulut emosi. Sehingga kita sedikit susah atau mungkin tidak dapat membedakan antara logika murni dengan logika yang dikuasai oleh perasaan untuk benar-benar memahami persoalan.

Teman, maaf bukan bermaksud menggurui atas semua permasalahan yang ada. Tulisan ini hanya sebagai alat untuk kita bersama-sama bercermin, menoleh kembali apa yang telah kita perbuat di masa lampau agar setidak nya kita dapat mengurangi bahkan menjauhkan kita dari piciknya pikiran sendiri. Mencoba memandang semua hal tidak dari satu sudut yang hanya mengedepankan subyektivitas pribadi. Mari…, duduk bersama dengan segelas kopi hangat atau pun hanya segelas air mineral, kita bicara mencurahkan semua material abstrak yang ada di kepala. Berusaha mencari sedikit titik terang yang nantinya tetap akan kita pertanyakan di akhir cerita masing-masing, terlepas dari salah dan benar, baik dan buruk, serta penuh akan tanda tanya. Kita ini hanya manusia biasa yang tak akan pernah memberikan batas atas keterbatasan kita…

Jakarta, 2008

0 komentar:

Posting Komentar

Tukeran Link

Senjakala Hati

Award Friendship Diary Osi

Thanks To Diary Osi